Jumat, 09 Oktober 2009

Dr. Soedarso

Dokter Soedarso merupakan salah seorang tokoh pejuang di Kalimantan Barat. Ia lahir pada tanggal 29 November 1906 di kota Pacitan Jawa Timur. Ayahnya seorang asisten wedana yang bernama Atmosoebroto. Dalam keluarganya Soedarso merupakan anak yang keenam dari sebelas bersaudara.
Soedarso kecil menyelesaikan sekolah dasarnya di Europesche Legere School (ELS) di kota Madiun. Kemudian ia mendaftar ke School Tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA) di Jakarta. Selama menjadi mahasiswa, ia aktif sebagai anggota gerakan pemuda pelajar nasional yang disebut Jong Java. Ia duduk sebagai staf redaksi surat kabar Jong Java selama lima tahun (1925 – 1930), sampai Jong Java bersama dengan organisasi pemuda lainnya seperti Jong Sumatera, Jong Ambon, Jong Minahasa dilebur menjadi Indonesia Muda. Pada tahun 1931, ia berhasil menamatkan sekolahnya di STOVIA Jakarta dan berhak menyandang gelar dokter. Setelah lulus dari STOVIA, ia langsung diangkat sebagai dokter pemerintah kolonial di Centrale Burgerlijke Ziekem Inrichtng (CBZ) atau Rumah Sakit Umum Pemerintah di Semarang. Pada bulan Maret 1932, ia berpindah tugas dari Semarang ke Bentang di Pulau Selayar, Sulawesi Selatan. Setelah empat tahun bertugas di Pulau Selayar, pada bulan Februari 1936, ia berpindah tugas lagi ke CBZ Surabaya. Dua tahun kemudian atau tepatnya pada bulan Februari 1938, dokter Soedarso dipindahkan tugasnya dari Surabaya ke Kalimantan Barat.
Sewaktu Jepang masuk ke Kalimantan Barat pada tahun 1942, dokter Soedarso sedang bertugas di daerah Sanggau Kalimantan Barat. Tentara Jepang kemudian menyerbu pasukan Belanda yang ada di Sanggau. Serangan tentara Jepang di Sanggau mengakibatkan timbulnya korban jiwa dan luka-luka di pihak pasukan Belanda. Dalam situasi kedua pihak yang masih saling bertempur, dokter Soedarso dengan penuh keberanian melakukan pengobatan terhadap korban pasukan Belanda yang terluka.
Sebagai salah satu strategi pendudukannya di Kalimantan Barat, tentara Jepang melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap dokter-dokter yang ada di Kalimantan Barat. Tentara Jepang beralasan bahwa penangkapan terhadap dokter-dokter itu dilakukan karena mereka telah menyebarkan wabah penyakit di Kalimantan Barat. Dalam usaha penangkapan itu, dokter Soedarso berhasil meloloskan diri karena pada saat itu ia sedang bertugas di daerah pedalaman dan berhasil disembunyikan oleh penduduk. Dokter Soedarso tidak tertangkap oleh tentara Jepang namun mereka berhasil menangkap dokter Sunaryo, dokter Agusjam, dokter Ismail, dokter Diponegoro, dokter Zakir dan dokter Rubini. Tentara Jepang kemudian membunuh para dokter yang tertangkap itu.
Pada bulan Maret 1944, dokter Soedarso pindah ke Singkawang. Selanjutnya pada tahun 1945 ia pindah lagi ke Pontianak dan menjabat sebagai Direktur Rumah Sakit Umum Sungai Jawi Pontianak. Setelah berakhirnya pendudukan Jepang di Indonesia akibat kekalahan tentara Jepang melawan pasukan Sekutu dalam perang Asia Timur Raya, bangsa Indonesia masih harus menghadapi orang-orang Belanda yang ingin kembali menjajah bangsa Indonesia. Orang-orang Belanda yang tergabung dalam Nederlands Indie Civil Administration (NICA) datang ke Indonesia dengan membonceng pasukan Sekutu yang akan melucuti persenjataan tentara Jepang. Pada masa kedatangan Belanda ini, dokter Soedarso selain bertugas di Rumah Sakit Umum Sungai Jawi Pontianak juga bertugas sebagai dokter pemerintah di Balai Pengobatan Umum Kampung Bali dan dokter di Rumah Sakit Jiwa Pontianak. Selain bertugas sebagai dokter di Pontianak, ia juga bertugas di daerah Mempawah dan Ngabang.
Pada tanggal 29 September 1945, tentara Australia sebagai perwakilan pasukan Sekutu mendarat di Pontianak. Dalam menyikapi kedatangan pasukan Sekutu yang diwakili tentara Australia tersebut, maka pada tanggal 15 Oktober 1945 dokter Soedarso memimpin rapat umum di lapangan Kebun Sayur Pontianak dan menyampaikan resolusi kepada tentara Australia yang isinya menolak kembali kedatangan orang-orang Belanda yang tergabung dalam NICA di Kalimantan Barat. Dokter Soedarso kemudian menggerakkan massa beramai-ramai dari Kebun Sayur menuju ke kediaman Residen Pontianak. Dokter Soedarso dan Massa mengharap agar Residen Pontianak yang bernama Asikin Nur tidak menyerahkan kekuasaannya kepada NICA. Namun usulan ini ditolak oleh Residen Asikin Nur. Setelah tentara Australia meninggalkan Pontianak, Residen Asikin Nur menyerahkan kekuasaannya kepada Van Der Zwaal dari NICA. Penyerahan kekuasaan Residen Pontianak dari Residen Asikin Nur kepada NICA ini mendapat tentangan dari masyarakat Pontianak dan sekitarnya. Sebagai bentuk protes, sebagian besar pegawai pemerintahan di kota Pontianak beramai-ramai melakukan mogok kerja, termasuk dokter Soedarso. Akibat pemogokan kerja secara massal ini Belanda mengalami kesulitan dalam menjalankan pemerintahannya. Untuk mengatasinya Belanda kemudian menangkap beberapa tokoh politik yang dianggap berbahaya dan sebagai otak penggerak terjadinya pemogokan massal. Mereka yang ditangkap antara lain dokter Soedarso, Radjikin dan Muzani Abdul Rani. Mereka ditangkap dan ditahan di penjara Sei Jawi Pontianak. Namun akhirnya mereka dibebaskan tanpa syarat.
Belanda kemudian mengeluarkan kebijakan dengan mengangkat Sultan Hamid II sebagai Sultan Pontianak. Setelah diangkat sebagai Sultan Pontianak, Sultan Hamid II menghendaki agar Kalimantan Barat menjadi sebuah negara federasi dan tidak bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap dan keputusan Sultan Hamid II tersebut mendapat tentangan dari dokter Soedarso dan kawan-kawannya yang tergabung dalam organisasi Pemuda Penyongsong Republik Indonesia (PPRI). Organisasi PPRI sendiri menghendaki agar Kalimantan Barat bergabung ke dalam negara Republik Indonesia yang baru merdeka.
Untuk menghadapi Belanda di Kalimantan Barat, selain dengan perjuangan fisik juga dilakukan perjuangan diplomasi. Sebagai wadah perjuangan diplomasi maka terbentuklah organisasi Gabungan Persatuan Indonesia (GAPI) pada tanggal 16 Desember tahun 1946 yang diketuai oleh dokter Soedarso. Organisasi ini menentang usul Sultan Hamid II yang akan membentuk negara Kalimantan Barat. Belanda kemudian khawatir kegiatan politik GAPI akan berkembang luas dan semakin mendapat dukungan masyarakat. Oleh karena itu, Belanda segera menangkap dokter Soedarso sebagai ketua GAPI pada tanggal 29 Februari 1948 dan menahannya di penjara Cipinang Jakarta dengan masa hukuman 6 tahun penjara. Setelah dokter Soedarso ditahan di Cipinang Jakarta, GAPI kemudian membentuk suatu panitia dengan nama ”Panitia Urusan Dokter Soedarso”. Pada tanggal 30 Maret 1948, GAPI mengutus M. A. Rani ke Jakarta untuk mengurus soal kasasi dokter Soedarso, tetapi usaha ini tidak berhasil. Walaupun dokter Soedarso dalam masa penahanan, namun dukungan politik yang diberikan kepadanya tetap mengalir. Hal ini dapat dibuktikan sewaktu diadakan pemilihan anggota Dewan Kalimantan Barat (DKB) pada tanggal 23 maret 1948, dimana dokter Soedarso meraih suara terbanyak.
Dokter Soedarso bebas dari penjara Cipinang Jakarta setelah terjadi kesepakatan dalam perjanjian Roem Royen pada akhir tahun 1949. Setelah bebas dari penjara, ia pada tanggal 5 Januari 1950 dicalonkan sebagai Kepala Daerah Kalimantan Barat menggantikan Sultan Hamid II, tetapi pemerintah Dewan Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) menolak usulan tersebut. Dokter Soedarso kemudian terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) mewakili daerah Kalimantan Barat. Dokter Soedarso yang menjadi anggota tim peninjau dari komisi DPRS pernah dikirim ke Kalimantan Barat untuk menyelidiki kasus huru-hara dan pemogokan oleh masyarakat Pontianak terhadap Sultan Hamid II yang menolak kedatangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Kalimantan Barat.
Pada tahun 1952, saat pelantikan R.M. Soeprapto menjadi Residen Kalimantan Barat oleh Menteri Dalam Negeri M. Roem, S.H, dokter Soedarso diminta untuk memberikan kata sambutan. Dalam acara yang juga dihadiri oleh Gubernur Kalimantan Barat dokter Murjani, dokter Soedarso melontarkan keinginannya agar Kalimantan Barat menjadi sebuah propinsi tersendiri. Usul dokter Soedarso tersebut diterima dan kemudian terbentuklah Propinsi Kalimantan Barat pada tanggal 29 Januari tahun 1957.
Selanjutnya pada tahun 1958-1960, Gubernur R.D. Asikin dan Kolonel Sudharmo memilih dokter Soedarso sebagai anggota Dewan Perencanaan Nasional (DEPERNAS) mewakili Kalimantan Barat. Dalam rapat DEPERNAS, dokter Soedarso mengusulkan agar pemerintah Indonesia melakukan program transmigrasi ke Kalimantan Barat mengingat penduduknya masih jarang. Usulan program transmigrasi ke Kalimantan Barat ini diterima dan berjalan dengan baik. Kemudian pada tahun 1960-1966, dokter Soedarso dipilih sebagai anggota MPRS oleh DPRD tingkat I Kalimantan Barat. Di dalam MPRS, dokter Soedarso mengusulkan agar badan-badan yang mempunyai bidang yang sama dalam pemerintahan sebaiknya dilebur menjadi satu badan saja demi penghematan tenaga, waktu dan uang. Selain berkecimpung dalam dunia politik, dokter Soedarso sebagai seorang dokter juga aktif dalam kegiatan sosial kemanusiaan. Pada tahun 1953, ia diangkat sebagai direktur sekaligus ketua Yayasan Rumah Sakit Bersalin Pontianak sampai tahun 1976. Selama kepemimpinannya, keadaan Rumah Sakit Bersalin Pontianak mengalami kemajuan. Segala fasilitas ruangan dan peralatan telah dilengkapi sehingga kini menjadi salah satu rumah sakit bersalin yang besar di Pontianak.
Pada tahun 1955, dokter Soedarso mendirikan Sekolah Pendidikan Bidan di Pontianak. Sekolah ini dibuka karena masih kurangnya tenaga bidan di Kalimantan Barat. Selain itu, ia juga melakukan perubahan status pendidikan perawat di Rumah Sakit Umum Sei Jawi dari pendidikan kursus Juru Rawat menjadi Sekolah Perawat. Di luar kota Pontianak, ia mendirikan Sekolah Juru Kesehatan di daerah Sintang dan Ketapang. Sedangkan di Pemangkat, dokter Soedarso dikenal sebagai pendorong berdirinya sebuah rumah sakit swasta yang dalam penggunaannya kemudian diserahkan kepada Pemerintah Daerah.
Dokter Soedarso merupakan salah seorang perintis berdirinya sekolah kejuruan di Pontianak, diantaranya SMEA Negeri, Kursus Guru Taman Kanak-kanak dan SKKA Negeri Pontianak. Pada tahun 1958 sampai 1974, Departemen Kesehatan mengangkat dokter Soedarso sebagai Inspektur Kesehatan di Kalimantan Barat dan merangkap sebagai ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Kalimantan Barat. Di bidang pendidikan umum, ia juga dikenal sebagai salah seorang pelopor pendirian Universitas Tanjungpura (UNTAN) pada tahun 1959.
Partisipasi dokter Soedarso dalam bidang kesehatan dan sosial di Kalimantan Barat cukup besar. Oleh karenanya, pada tahun 1971, Pangdam XII Tanjung Pura Soemadi, memberikan anugerah Tanda Penghargaan ”Satya Lanjtana Dharma Pala” kepada dokter Soedarso atas jasanya dalam bidang kesehatan sewaktu menumpas gerakan PGRS di Kalimantan Barat. Kemudian pada tahun 1975, ia mendapatkan penghargaan tanda ”Satya Lancana Kebaktian Sosial” dari Departemen Sosial Kalimantan Barat.
Dalam kehidupan keluarga, dokter Soedarso pernah menikah dua kali. Pernikahannya yang pertama dengan Soetitah dan dikaruniai tujuh orang anak. Ketujuh orang anak dokter Soedarso yang lahir dari perkawinannya dengan Soetitah bernama Agus Sutiarso, Agus Setiadi, Andarwini, Sriyati Supranggono, Sri Rezeki Norodjati, Agus Setiawan dan Sri Astuti Suparmanto. Sedangkan pernikahannya yang kedua dengan Hartati pada tahun 1962 setelah istri pertamanya meninggal dunia. Dari pernikahannya yang kedua, dokter Soedarso dikaruniai seorang orang anak perempuan bernama Savitri Tri Haryono.
Pada usia 69 tahun dokter Soedarso meninggal dunia karena sakit. Dokter Soedarso meninggal pada hari Senin tanggal 8 Maret 1976 di Rumah Sakit Sei Jawi Pontianak. Beliau dimakamkan di pemakaman Muslim di Kampung Bangka Pontianak.
Dokter Soedarso adalah seorang tokoh yang ulet dan berwawasan luas. Jasa dan pengabdiannya begitu besar untuk masyarakat Kalimantan Barat sehingga generasi muda sebagai generasi penerus bangsa diharapkan mampu mengikuti jejak-jejaknya. Sikap dan perjuangannya layak menjadi teladan bagi generasi muda penerus bangsa.

2 komentar:

  1. Memangnya di KalBar ada Pejuang kecuali mereka yang ditangkap dan dibunuh Jepang. Mereka itulah yang benar Pejuang. Yang lainnya cuma ngaku Pejuang. Sejarah Perjuangan Kalimantan Barat penuh dengan rekayasa dan kepentingan politik tertentu. Pada zaman Jepang, hampir semua dokter ditangkap dan dibunuh kecuali dr Soedarso.Kapan pak dokter kita itu berjuang.Ini tugas para calon Sarjana jurusan Sejarah STKIP-PGRI Pontianak untuk mengadakan penelitian.

    BalasHapus
  2. Mimbar Untan sedang menyiapakn liputan khusus dr Soedarso, tidak lama lagi akan terbit. mantap pak karel, lanjutkan

    BalasHapus