Bardan Nadi merupakan seorang tokoh pejuang di daerah Ngabang Kalimantan Barat. Ia mempunyai nama asli Sutrisno Sastrokusumo. Ia dilahirkan dari pasangan R. Suratman Nadi Sastrosasmito dan Sarifah pada tahun 1912 di Magelang Jawa Tengah. Ayahnya berasal dari Solo dan ibunya dari Sedayu. Ia merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai anggota pasukan keraton yang ada di Solo. Mereka tinggal di asrama di sekitar lingkungan keraton. Belanda kemudian merekrut R. Suratman menjadi anggota pasukan Belanda. Ia sering berpindah tempat tinggal karena mengikuti tugas ayahnya yang sering berpindah-pindah tempat tugas. Beberapa tempat yang telah diinjak dan dikenali olehnya antara lain Magelang, Semarang, Aceh, Bogor, Jakarta, Pontianak dan Ngabang. Selama mengikuti tugas orangtuanya, ia melihat banyak tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Oleh karena itu, ia bertekad tidak ingin membiarkan nasib bangsanya terus larut dalam penjajahan bangsa Belanda.
Dalam riwayat pendidikan, pertama-tama ia bersekolah di Holland Inlandsche School (HIS), kemudian ia melanjutkan ke tingkat Sekolah Pertama. Ia termasuk anak yang pintar. Ia gemar membaca buku-buku tentang pergerakan kebangsaan, keagamaan, kesenian dan olah raga. Selain belajar, ia juga senang mengikuti kegiatan kepanduan dan organisasi. Sifat dan tata krama Bardan Nadi yang sangat berbeda dengan anak-anak lainnya membuat orangtua teman sepermainannya memberikan nama tambahan “Bardan” kepadanya. Bardan dalam bahasa Arab berarti sejuk.
Bardan Nadi tumbuh menjadi seorang pemuda yang memiliki kepribadian, gaya hidup dan penampilan yang sederhana. Sikapnya ramah, suka menolong dan percaya diri sendiri. Setelah dewasa ia mempersunting seorang gadis dari Pontianak bernama Rahimi. Ia dan istrinya menetap di desa Sepatah, Sengah Temila daerah Ngabang. Mereka dikaruniai empat orang anak. Pada tahun 1944 Rahimi meninggal dunia karena sakit. Setelah kematian istrinya, ia tidak menikah kembali. Tugas merawat, mendidik dan membesarkan anak-anak dilakukannya sendiri.
Bardan Nadi bekerja pada salah satu instansi Belanda yang ada di Ngabang. Selain menekuni pekerjaannya, secara diam-diam ia juga menekuni kegiatan politik untuk menentang penjajah Belanda. Pada tahun 1936, ia dan para pemuda Ngabang mendirikan perkumpulan kepemudaan bernama Surya Wirawan dan perkumpulan organisasi politik bernama Partai Indonesia Raya (Parindra). Ia berjuang bersama teman-temannya, antara lain Gusti Tamdjid, Gusti Lagum, Gusti Machmud Aliuddin, Sabran dan Gusti Affandi Rani. Kegiatan Bardan Nadi dalam berpolitik akhirnya diketahui oleh atasannya dan atasannya menilai bahwa kegiatan politik Bardan Nadi dapat membahayakan pemerintah kolonial Belanda. Kepala Pemerintah Kolonial Belanda di Ngabang kemudian meminta Bardan Nadi untuk menentukan 2 pilihan yaitu bekerja terus pada kantor instansi Belanda dengan meninggalkan semua kegiatan politiknya atau berhenti bekerja pada kantor instansi Belanda. Ia akhirnya memilih berhenti dari pekerjaannya di kantor instansi Belanda di Ngabang. Perjuangan Bardan Nadi sungguh mulia, ia rela mengorbankan dan meninggalkan jabatan dan pekerjaannya demi perjuangan.
Bardan Nadi kemudian pindah dan bekerja pada instansi Departemen Pekerjaan Umum. Di tempat pekerjaan barunya, secara diam-diam ia tetap melanjutkan kegiatan politiknya, baik dalam Parindra maupun Surya Wirawan. Kegiatan politiknya tersebut akhirnya diketahui kembali oleh Belanda, tetapi Belanda tidak dapat langsung menindaknya karena bukti-bukti yang menyatakan adanya keterlibatan politik organisasi yang dipimpinnya tidak berhasil ditemukan.
Pada masa Jepang berkuasa di Kalimantan Barat, Bardan Nadi masih tetap menekuni pekerjaannya sebagai mandor Pekerjaan Umum. Tetapi dalam bidang politik, kegiatan organisasi dan perjuangan pergerakan tidak dapat diteruskannya karena Jepang melarang setiap kegiatan organisasi. Jepang bertindak sangat hati-hati dan selalu mempunyai rasa curiga terhadap bangsa pribumi. Suatu pengalaman pahit nyaris menimpa Bardan Nadi bersama dengan ketujuh orang temannya, ketika mereka disuruh mengisi daftar asal-usul/daftar riwayat hidup yang telah dipersiapkan Jepang dalam rangka penangkapan. Mereka yang menjadi sasaran adalah Bardan Nadi, Sultan Abdul Latif, Gusti Machmud Aliuddin, Gusti Zainul Arifin, Gusti Lagum, Ya’ Bun Ya dan dua orang bangsa Cina. Adapun tujuan penangkapan mereka adalah karena Jepang menganggap mereka termasuk tokoh yang berpengaruh di masyarakat. Tetapi kemudian Bardan Nadi dan kawan-kawannya berhasil lolos dari rencana penangkapan dan pembunuhan oleh tentara Jepang tersebut.
Dalam rangka memperkuat pasukannya di Indonesia, Jepang membentuk barisan pemuda yang dinamakan Seinendan. Bardan Nadi dan teman-temannya turut bergabung dalam Seinendan wilayah Distrik Sengah Temila desa Sepatah. Di desa Sepatah inilah, Bardan Nadi dan teman-temannya pernah mengadakan upacara penaikan Sang Saka Merah Putih tanpa didampingi bendera Jepang (Hinomaru). Tindakan patriotik tersebut mendapat dukungan dari masyarakat dan pejuang kemerdekaan.
Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 baru dapat diterima di Pontianak pada akhir bulan Agustus 1945 melalui sebuah radio milik seorang pemuda bernama Sukandar. Sedangkan di Ngabang, berita proklamasi baru dapat diketahui pada bulan Oktober 1945 melalui telepon yang dikirim oleh Gusti Abdul Hamid yang sedang berada di Pontianak. Setelah mendengar berita proklamasi, tokoh-tokoh pejuang di Ngabang merasa tergugah untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Karena walaupun bangsa Indonesia sudah memproklamirkan kemerdekaannya, tetapi masih harus berhadapan lagi dengan Belanda yang ingin menjajah kembali bangsa Indonesia.
Bardan Nadi dan teman-teman seperjuangannya membentuk organisasi Persatuan Rakyat Indonesia (PRI) pada bulan Maret tahun 1946. Gusti Abdul Hamid ditunjuk sebagai ketua dan Gusti Affandi selaku wakil Panembahan Landak ditunjuk sebagai pelindung PRI. Di Pontianak, organisasi sejenis PRI ini bernama Panitia Penyongsong Republik Indonesia (PPRI), yang dipimpin oleh Dr. M. Soedarso, Muzani A. Rani, Soekoco Katim dan lain-lain. Tujuan organisasi PRI adalah untuk menyatukan segenap lapisan masyarakat di daerah Landak/Ngabang dalam usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada bulan Oktober 1946, PRI berubah nama menjadi Gerakan Rakyat Merdeka (GERAM). Meskipun terjadi perubahan nama, tetapi nama-nama pengurusnya tetap. Pengurus besar organisasi ini terdiri dari 15 orang. Gusti M. Said mengetuai bagian propaganda dengan anggota sebanyak 17 orang dan Bardan Nadi diangkat sebagai wakil kepala yang bertanggung jawab untuk seluruh daerah Ngabang.
Pada tanggal 10 Oktober 1946, GERAM melakukan serangan terhadap Belanda dengan sasaran tangsi militer Belanda, rumah kontrolir Ngabang dan pos polisi Belanda (NICA). Dalam melancarkan serangan, GERAM membagi 2 daerah operasinya yaitu daerah Ngabang, Air Besar, Menyuke dan sekitarnya dipimpin oleh Gusti Lagum, sedangkan daerah Sengah Temila dan sekitarnya dipimpin Bardan Nadi. Setelah operasi dilancarkan, Bardan Nadi berhasil merebut dan menduduki kantor Demang desa Sepatah. Selanjutnya Bardan Nadi dan anak buahnya bergabung dengan pasukan GERAM dari Air Besar dan Menyuke.
Pada tanggal 11 Oktober 1946, GERAM melancarkan serangan ke tangsi militer Belanda di Ngabang. Pasukan Belanda kemudian membalas serangan yang membuat pasukan GERAM terdesak. Setelah mendapat bantuan dari Pontianak, pasukan Belanda melakukan pengejaran terhadap pasukan GERAM sampai dengan tanggal 28 Oktober 1946.
Pada tanggal 29 Oktober 1946, terjadi pertempuran di Sidas yang dipimpin oleh Bardan Nadi dan Panglima Adat Pak Kasih. Dalam pertempuran tersebut, Pak Kasih gugur bersama dengan 22 orang pejuang lainnya. Bardan Nadi dan pasukannya yang terdesak kemudian mundur dan bersembunyi di hutan. Pasukan Belanda terus mengejar dan ingin menangkap Bardan Nadi yang dianggap sebagai penggerak pecahnya pertempuran di Sidas.
Pada tanggal 5 November 1946, pasukan Belanda menemukan dan mengepung tempat persembunyian Bardan Nadi dan keluarganya. Bardan Nadi melakukan perlawanan kepada pasukan Belanda sehingga mengakibatkan Paini Trisnowati, anak ketiga Bardan Nadi tewas terkena peluru pasukan Belanda. Setelah salah seorang anaknya tewas, Bardan Nadi akhirnya menyerah. Namun sebelum ditangkap, ia sempat mengeluarkan sehelai kertas dari saku bajunya dan dimasukkan ke mulut dan ditelannya. Hal tersebut dilakukan agar kertas dokumen itu tidak jatuh ke tangan Belanda karena isi kertas dokumen itu sangat rahasia, yang diterimanya dari dokter Soedarso, selaku pimpinan organisasi PPRI di Pontianak. Adapun isi kertas dokumen itu adalah supaya mengadakan pemberontakan terhadap penjajah Belanda, sesuai dengan situasi dan kondisi di daerahnya masing-masing. Setelah ia ditangkap dan sebelum tangannya diikat, ia meminta ijin kepada pasukan Belanda untuk mengubur jenazah putrinya.
Setelah ditangkap, Bardan Nadi kemudian dibawa ke tangsi militer Belanda di Ngabang. Selama berada di dalam tangsi militer Belanda di Ngabang, ia mengalami penyiksaan dan sempat beberapa hari dirawat di poliklinik militer Belanda di Ngabang. Ia kemudian dipindahkan dari tangsi militer Belanda di Ngabang ke penjara Sungai Jawi Pontianak. Di penjara Sungai Jawi Pontianak, ia dimasukkan ke dalam sel yang berdampingan dengan sel yang ditempati oleh dokter Soedarso. Dalam masa penahanannya di penjara Sungai Jawi, ia kembali mengalami penyiksaan. Setelah beberapakali diperiksa, akhirnya Mahkamah Pengadilan Militer Belanda di Pontianak memutuskan menjatuhkan hukuman mati kepada dirinya. Hukuman tersebut dilaksanakan pada tanggal 17 April 1947.
Sebelum ditembak mati, Bardan Nadi meminta kepada Kepala Penjara Sungai Jawi untuk mengeluarkan semua tahanan dari sel masing-masing dan selanjutnya dikumpulkan di halaman penjara untuk bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Ia memimpin sendiri lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan secara bersama-sama itu. Setelah selesai menyanyikan lagu Indonesia Raya, dengan suara lantang dan bersemangat, ia memekikkan “Merdeka, Merdeka, Merdeka”. Pekikkan itu disambut hangat oleh para tahanan yang berkumpul di halaman penjara. Mereka kagum atas tekad dan semangat Bardan Nadi. Selanjutnya pada tanggal 17 April 1947, pukul 07.00 WIB, Bardan Nadi menjalani hukuman mati dihadapan regu tembak pasukan Belanda. Darahnya telah membasahi bumi ibu pertiwi dan ia gugur sebagai pahlawan bangsa sejati. Jenazah Bardan Nadi dimakamkan di kompleks penjara Sungai Jawi Pontianak. Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 14 April 1950, atas prakarsa bekas pejuang kemerdekaan, kerangka jenazah Bardan Nadi dipindahkan ke kota Ngabang. Ia dimakamkan kembali di dekat makam ayah dan ibunya di kompleks pemakaman Islam, Hilir Kantor.
Dari riwayat di atas, generasi muda bangsa dan negara Indonesia hendaknya dapat memetik hikmah dan nilai-nilai perjuangan Bardan Nadi. Dalam suatu perjuangan memerlukan pengorbanan jiwa dan raga termasuk harta benda. Hal ini dapat melihat dari contoh sikap dan perbuatan Bardan Nadi dalam berjuang, dirinya rela kehilangan jabatan dan pekerjaannya, rela kehilangan nyawa anaknya, bahkan rela kehilangan nyawanya sendiri. Generasi muda hendaknya meneruskan perjuangan para pahlawan yang gugur dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia dengan mengisi alam kemerdekaan ini dengan pembangunan.
Jumat, 09 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar