Jumat, 09 Oktober 2009

Ali Anyang

Ali Anyang merupakan salah seorang tokoh pejuang Kalimantan Barat. Ia dilahirkan pada tanggal 20 Oktober 1920 di desa Nanga Menantak, Ambalau daerah Sintang Kalimantan Barat. Ayahnya bernama Lakak dan ibunya bernama Liang, keduanya keturunan suku Dayak di daerah Sintang. Dalam keluarganya, Ali Anyang merupakan anak yang kelima dari tujuh orang bersaudara.
Pada saat berumur 8 tahun, Ali Anyang menjadi anak angkat Raden Mas Suadi Djoyomiharjo, seorang kepala sekolah di daerah Sintang. Ayah angkatnya kemudian mengganti nama asli Ali Anyang yaitu Anjang menjadi Muhammad Ali Anyang. Ia memperoleh pengajaran agama Islam dari orangtua angkatnya. Dalam pendidikannya, ia pernah bersekolah di Holland Inlandsche School (HIS) di Pontianak. Setelah tamat dari HIS, ia melanjutkan sekolah ke Sekolah Juru Rawat Centrale Burgerlijke Ziekem Inrichting (CBZ) atau Rumah Sakit Umum Pemerintah di Semarang. Setelah tamat dari Sekolah Juru Rawat, ia kembali ke Pontianak dan bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Umum Sei Jawi Pontianak.
Sebagai seorang pemuda yang memiliki jiwa nasionalis tinggi, Ali Anyang tergerak hatinya untuk mengabdi dan berjuang dalam usaha membela kemerdekaan tanah airnya. Setelah mendengar berita Proklamasi kemerdekaan Indonesia, beberapa tokoh pemuda di Pontianak termasuk dirinya segera membentuk suatu badan bernama Panitia Penyongsong Republik Indonesia (PPRI). Tujuan pembentukan PPRI tersebut adalah untuk menyebarluaskan berita Proklamasi kemerdekaan Indonesia ke seluruh daerah di Kalimantan Barat.
Sebagai anggota PPRI, ia berperan dalam mencegah perebutan kekuasaan di Pontianak yang akan dilakukan oleh orang-orang Cina yang tergabung dalam organisasi Penjaga Keamanan Umum (PKO). Seperti diketahui, sejalan dengan diterimanya berita Proklamasi kemerdekaan Indonesia, di Pontianak pada tanggal 27 Agustus 1945 terjadi kekosongan pemerintahan. Orang-orang Cina yang tergabung dalam PKO bermaksud menguasai sistem pemerintahan di Kalimantan Barat khususnya di Pontianak. Namun rencana PKO yang meresahkan masyarakat tersebut dapat dicegah oleh PPRI dengan melakukan penyergapan dan perlawanan terhadap anggota PKO. Pada tanggal 3–4 September 1945 terjadi pertempuran antara PPRI yang didukung oleh masyarakat pribumi menghadapi anggota PKO di sekitar kota Pontianak. Bentrokan tersebut mengakibatkan korban jiwa di kedua belah pihak. Mengetahui banyaknya korban jiwa yang berjatuhan, dokter Soedarso sebagai ketua PPRI menginstruksikan Ali Anyang dan kawan-kawannya untuk segera menghentikan pertempuran. Setelah pertempuran berhenti, anggota PKO melarikan diri ke luar kota Pontianak karena segan menghadapi perlawanan dari PPRI dan masyarakat yang akan menghalangi maksud dan tujuan gerakan mereka.
Pada tanggal 29 September 1945, belum lama setelah tentara Jepang pergi, kota Pontianak kedatangan tentara Australia dan Belanda (NICA) untuk mengambil alih kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh penjajah Jepang. Kedatangan tentara Australia di Pontianak hanya berlangsung beberapa lama saja dan setelah itu kekuasaan atas Kalimantan Barat diserahkan kepada Belanda pada pertengahan bulan Oktober 1945. Sejak saat itu Belanda mulai berkuasa di Kalimantan Barat dengan Residennya bernama Van Der Zwaal.
Kedatangan Belanda yang bermaksud menjajah kembali Kalimantan Barat mendapat tentangan dari masyarakat di Kalimantan Barat. Ali Anyang beserta pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan lainnya berusaha menghalang-halangi maksud Belanda tersebut. Pada tanggal 12 November 1945, perlawanan terhadap Belanda dilakukan oleh Ali Anyang bersama pemuda pejuang lainnya dengan menyerbu tangsi dan gudang amunisi Belanda di Pontianak. Penyerbuan tersebut mengakibatkan beberapa orang pejuang mengalami luka berat dan ada yang gugur di tempat. Ali Anyang sendiri kemudian ditangkap dan ditahankan di penjara Sei Jawi Pontianak.
Pada pertengahan bulan Februari 1946, Ali Anyang keluar dari penjara Sei Jawi. Setelah keluar dari penjara, dokter Soedarso sebagai ketua Panitia Penyongsong Republik Indonesia (PPRI) memerintahkan Ali Anyang untuk melakukan konsolidasi dan koordinasi kepada seluruh pemuda pejuang agar terus melakukan perlawanan terhadap Belanda di daerah-daerah karena di kota Pontianak pada saat itu sudah sulit untuk melakukan pergerakan. Setelah menerima perintah dokter Soedarso, Ali Anyang pergi menuju ke wilayah Pantai Utara Kalimantan Barat, antara lain ke Mempawah, Singkawang dan Sambas. Setelah tiba di Singkawang, ia ditetapkan menjadi Komandan Pemberontakan di Kalimantan Barat oleh organisasi Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) yang ada di Singkawang. Selanjutnya ia menyusun dan mengkoordinir seluruh kekuatan yang ada dan mengumpulkannya di Bengkayang.

Pada tanggal 1 April 1946, terbentuk sebuah organisasi yang bernama Barisan Pemberontak Indonesia Kalimantan Barat (BPIKB) yang bermarkas di Bengkayang dengan Ali Anyang sebagai komandannya. Pada tanggal 31 Agustus 1945, Ali Anyang dan pasukan BPIKB berencana melakukan penyerbuan terhadap pasukan Belanda di Bengkayang yang sedang melakukan parade kemiliteran dalam rangka peringatan hari besar Ratu Wilhelmina. Namun penyerbuan itu gagal dilakukan karena pasukan Belanda melakukan penjagaan dengan ketat.
Pada tanggal 8 Oktober 1946, Ali Anyang dan pasukannya menyerbu tangsi militer Belanda di Bengkayang. Para pejuang berhasil menguasai kota Bengkayang dan menaikkan bendera merah putih dengan diiringi lagu Indonesia Raya. Namun penguasaan kota Bengkayang tidak berlangsung lama karena pasukan Belanda yang berasal dari Singkawang datang ke Bengkayang dan menggempur pasukan Ali Anyang. Pada tanggal 9 Oktober 1946, pasukan Belanda dapat merebut kembali kota Bengkayang dari tangan pejuang RI. Pasukan Belanda kemudian mencari Ali Anyang yang dianggap sebagai penggerak penyerbuan kota Bengkayang. Dalam usaha mencari Ali Anyang, Belanda memberi hadiah uang sebanyak 25.000 gulden bagi siapa saja yang berhasil menemukan Ali Anyang.
Walaupun Ali Anyang dan pejuang lainnya dikejar-kejar oleh Belanda, namun mereka masih melakukan perlawanan terhadap Belanda. Hal ini dibuktikan dengan adanya peristiwa penyerbuan tangsi Militer Belanda di Sambas pada tanggal 10 Januari 1949 oleh Ali Anyang dan pasukannya. Karena terdesak maka Ali Anyang dan pasukannya mundur ke hutan-hutan. Pasukan Belanda terus mengejar pasukan Ali Anyang hingga terjadi beberapa kali bentrokan senjata antara kedua belah pihak, diantaranya bentrokan senjata pada tanggal 18 Januari 1949 di kampung Acan perbatasan Serawak dan tanggal 20 Maret 1949 bentrokan terjadi di kampung Camar Bulan.
Akhirnya pertempuran-pertempuran antara Ali Anyang dan pasukannya melawan Belanda berhenti setelah pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia. Hal ini disambut rakyat Kalimantan Barat dengan penuh rasa suka cita dan disertai pekikan ”merdeka, merdeka, dan merdeka”. Setelah pengakuan kedaulatan ini, ia memerintahkan kepada seluruh anggota pasukannya untuk kembali ke kampung halaman masing-masing.
Setelah masa perang kemerdekaan selesai, pada tahun 1950 Ali Anyang menikah dengan Siti Hajar yang berasal dari Sambas. Setelah menikah, Ali Anyang dan istrinya sering berpindah-pindah tempat tinggal karena tugasnya sebagai seorang perawat. Di antaranya ia pernah tinggal di Ciawi, Indramayu, Banjarmasin, Cililitan dan akhirnya kembali ke Kalimantan Barat. Dari pernikahannya dengan Siti Hajir, ia dikaruniai delapan orang anak. Kedelapan orang anaknya itu adalah Sri Endang Ratna Juwita, Ida Triwati, Mohammad Armin Ali Anyang, Rina Yulia, Rita Nuriati, Rini Nuraini, Siti Wahyuni dan Diah Purnama Wati.
Ali Anyang pernah menjadi ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) II Kabupaten Sambas di Singkawang. Namun, sewaktu ia masih menjabat sebagai ketua DPRD II Kabupaten Sambas, pada tanggal 7 April 1970 Ali Anyang meninggal dunia karena sakit. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bambu Runcing, Singkawang Kabupaten Sambas.
Sikap dan perjuangan Ali Anyang sungguh mulia. Jasa dan pengabdiannya kepada bangsa dan negara begitu besar. Dalam perjalanan hidupnya, ia rela berjuang dan berkorban bersama teman-temannya melawan Belanda. Generasi muda sebagai generasi penerus bangsa selayaknya meneladani sosok pejuang Ali Anyang dan nilai-nilai kejuangannya.

1 komentar:

  1. Selamat & terima kasih.
    Sy di jakarta, meminati elemen sejarah perjuangan pemuda untuk kemerdekaan RI. Stlh mengetahui ini, sy minta dikirim kan foto2 pahlawn Moh. Ali Anyang. Untuk sambutan nya dan perhatian nya di haturkan banyak terima kasih.
    wslm,

    BalasHapus