Jumat, 09 Oktober 2009

Sekilas Kalimantan Barat

Pada tahun 1936, Kalimantan Barat merupakan salah satu daerah keresidenan yaitu bagian dari Govermenten van Borneo (GB) dengan pusat pemerintahan di Banjarmasin, Dua tahun kemudian GB ini menjadi dua residensi dimana salah satunya adalah Residentie Westerfdeling van Borneo dengan pusat pemerintahan di Pontianak. Pada tahun 1942 - 1945, Jepang menduduki Kalimantan Barat serta mengakhiri masa pemerintahan Hindia Belanda. Dalam masa pendudukan Jepang ini , masih tetap dalam status keresidenan yang residennya berpusat di Banjarmasin, tapi merupakan bagian dari Borneo Minseibu Cokan. Dimasa perjuangan kemerdekaan, tokoh - tokoh Kalimantan Barat yang gigih menentang penjajahan Melanda maupun Jepang adalah : Gusti Sulung Lelanang, Gusti Situt Mahmud, AR Jeranding , HR A. Rahman DLl. Setelah kekuasaan Jepang berakhir ternyata Kalimantan Barat Belum Langsung menikmati kemerdekaan karena dikuasai oleh kolonialis, khususnya pemerintahan Belanda ( NICA) pada tahun 1945. Status keresidenan Kalimantan Barat segera disempurnakan dengan pengakuan adanya 12 pemerintahan Swapraja dan Neo Swapraja , yang tidak lama kemudian digabung menjadi sebuah daerah federasi. Daerah Kalimantan Barat oleh NICA diakui sebagai Daerah Istimewa Kalimantan Barat ( DIKB) pada tahun 1948. Tetapi DIKB tidak bertahan lama yang kareanadanya desakan dari rakyat, maka pada tahun 1949 DIKB dan kepala daerah menyerahkan wewenang kepada residen kalimantan Barat di Pontianak Sebagai wakil Pemerintahan Pusat Republik Indonesia Serikat (RIS). Selanjutnya Menteri Dalam Negeri RIS mengukuhkan wewenang residen yang menjalankan pemerintahan di Kalimantan Barat dan pemerintahannya kembali kepada status keresidenan administrasi yang merupakan bagian dari Propinsi Kalimantan barat yang berpusat di banjarmasin. Kondisi ini berlangsung hingga tahun 1956. Atas dasar Undang-undang Nomor 25 tahun 1956, Kalimantan Barat mendapatkan status sebagai daerah Propinsi Otonom dengan ibukota Pontianak. Kedudukuan sebagai daerah otonom ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 1957. Selanjutnya tanggal ini dianggap sebagai hari jadi Pemerintah Kalimantan Barat. Namun Mulai Tahun 2002 Hari jadi Pemerintah Kalimantan Barat diperingati setiap tanggal 28 Januari. Sejak ditetapkannya sebagai Daerah Propinsi Otonom yaitu pada tanggal 1 Januari 1957 sampai saat ini, Kalimantan Barat telah dipompin oleh delapan pejabat Gubernur. Dewasa ini daerah pemerintah Kalimantan Barat sejak diberlakukannya otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999.

Dr. Soedarso

Dokter Soedarso merupakan salah seorang tokoh pejuang di Kalimantan Barat. Ia lahir pada tanggal 29 November 1906 di kota Pacitan Jawa Timur. Ayahnya seorang asisten wedana yang bernama Atmosoebroto. Dalam keluarganya Soedarso merupakan anak yang keenam dari sebelas bersaudara.
Soedarso kecil menyelesaikan sekolah dasarnya di Europesche Legere School (ELS) di kota Madiun. Kemudian ia mendaftar ke School Tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA) di Jakarta. Selama menjadi mahasiswa, ia aktif sebagai anggota gerakan pemuda pelajar nasional yang disebut Jong Java. Ia duduk sebagai staf redaksi surat kabar Jong Java selama lima tahun (1925 – 1930), sampai Jong Java bersama dengan organisasi pemuda lainnya seperti Jong Sumatera, Jong Ambon, Jong Minahasa dilebur menjadi Indonesia Muda. Pada tahun 1931, ia berhasil menamatkan sekolahnya di STOVIA Jakarta dan berhak menyandang gelar dokter. Setelah lulus dari STOVIA, ia langsung diangkat sebagai dokter pemerintah kolonial di Centrale Burgerlijke Ziekem Inrichtng (CBZ) atau Rumah Sakit Umum Pemerintah di Semarang. Pada bulan Maret 1932, ia berpindah tugas dari Semarang ke Bentang di Pulau Selayar, Sulawesi Selatan. Setelah empat tahun bertugas di Pulau Selayar, pada bulan Februari 1936, ia berpindah tugas lagi ke CBZ Surabaya. Dua tahun kemudian atau tepatnya pada bulan Februari 1938, dokter Soedarso dipindahkan tugasnya dari Surabaya ke Kalimantan Barat.
Sewaktu Jepang masuk ke Kalimantan Barat pada tahun 1942, dokter Soedarso sedang bertugas di daerah Sanggau Kalimantan Barat. Tentara Jepang kemudian menyerbu pasukan Belanda yang ada di Sanggau. Serangan tentara Jepang di Sanggau mengakibatkan timbulnya korban jiwa dan luka-luka di pihak pasukan Belanda. Dalam situasi kedua pihak yang masih saling bertempur, dokter Soedarso dengan penuh keberanian melakukan pengobatan terhadap korban pasukan Belanda yang terluka.
Sebagai salah satu strategi pendudukannya di Kalimantan Barat, tentara Jepang melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap dokter-dokter yang ada di Kalimantan Barat. Tentara Jepang beralasan bahwa penangkapan terhadap dokter-dokter itu dilakukan karena mereka telah menyebarkan wabah penyakit di Kalimantan Barat. Dalam usaha penangkapan itu, dokter Soedarso berhasil meloloskan diri karena pada saat itu ia sedang bertugas di daerah pedalaman dan berhasil disembunyikan oleh penduduk. Dokter Soedarso tidak tertangkap oleh tentara Jepang namun mereka berhasil menangkap dokter Sunaryo, dokter Agusjam, dokter Ismail, dokter Diponegoro, dokter Zakir dan dokter Rubini. Tentara Jepang kemudian membunuh para dokter yang tertangkap itu.
Pada bulan Maret 1944, dokter Soedarso pindah ke Singkawang. Selanjutnya pada tahun 1945 ia pindah lagi ke Pontianak dan menjabat sebagai Direktur Rumah Sakit Umum Sungai Jawi Pontianak. Setelah berakhirnya pendudukan Jepang di Indonesia akibat kekalahan tentara Jepang melawan pasukan Sekutu dalam perang Asia Timur Raya, bangsa Indonesia masih harus menghadapi orang-orang Belanda yang ingin kembali menjajah bangsa Indonesia. Orang-orang Belanda yang tergabung dalam Nederlands Indie Civil Administration (NICA) datang ke Indonesia dengan membonceng pasukan Sekutu yang akan melucuti persenjataan tentara Jepang. Pada masa kedatangan Belanda ini, dokter Soedarso selain bertugas di Rumah Sakit Umum Sungai Jawi Pontianak juga bertugas sebagai dokter pemerintah di Balai Pengobatan Umum Kampung Bali dan dokter di Rumah Sakit Jiwa Pontianak. Selain bertugas sebagai dokter di Pontianak, ia juga bertugas di daerah Mempawah dan Ngabang.
Pada tanggal 29 September 1945, tentara Australia sebagai perwakilan pasukan Sekutu mendarat di Pontianak. Dalam menyikapi kedatangan pasukan Sekutu yang diwakili tentara Australia tersebut, maka pada tanggal 15 Oktober 1945 dokter Soedarso memimpin rapat umum di lapangan Kebun Sayur Pontianak dan menyampaikan resolusi kepada tentara Australia yang isinya menolak kembali kedatangan orang-orang Belanda yang tergabung dalam NICA di Kalimantan Barat. Dokter Soedarso kemudian menggerakkan massa beramai-ramai dari Kebun Sayur menuju ke kediaman Residen Pontianak. Dokter Soedarso dan Massa mengharap agar Residen Pontianak yang bernama Asikin Nur tidak menyerahkan kekuasaannya kepada NICA. Namun usulan ini ditolak oleh Residen Asikin Nur. Setelah tentara Australia meninggalkan Pontianak, Residen Asikin Nur menyerahkan kekuasaannya kepada Van Der Zwaal dari NICA. Penyerahan kekuasaan Residen Pontianak dari Residen Asikin Nur kepada NICA ini mendapat tentangan dari masyarakat Pontianak dan sekitarnya. Sebagai bentuk protes, sebagian besar pegawai pemerintahan di kota Pontianak beramai-ramai melakukan mogok kerja, termasuk dokter Soedarso. Akibat pemogokan kerja secara massal ini Belanda mengalami kesulitan dalam menjalankan pemerintahannya. Untuk mengatasinya Belanda kemudian menangkap beberapa tokoh politik yang dianggap berbahaya dan sebagai otak penggerak terjadinya pemogokan massal. Mereka yang ditangkap antara lain dokter Soedarso, Radjikin dan Muzani Abdul Rani. Mereka ditangkap dan ditahan di penjara Sei Jawi Pontianak. Namun akhirnya mereka dibebaskan tanpa syarat.
Belanda kemudian mengeluarkan kebijakan dengan mengangkat Sultan Hamid II sebagai Sultan Pontianak. Setelah diangkat sebagai Sultan Pontianak, Sultan Hamid II menghendaki agar Kalimantan Barat menjadi sebuah negara federasi dan tidak bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap dan keputusan Sultan Hamid II tersebut mendapat tentangan dari dokter Soedarso dan kawan-kawannya yang tergabung dalam organisasi Pemuda Penyongsong Republik Indonesia (PPRI). Organisasi PPRI sendiri menghendaki agar Kalimantan Barat bergabung ke dalam negara Republik Indonesia yang baru merdeka.
Untuk menghadapi Belanda di Kalimantan Barat, selain dengan perjuangan fisik juga dilakukan perjuangan diplomasi. Sebagai wadah perjuangan diplomasi maka terbentuklah organisasi Gabungan Persatuan Indonesia (GAPI) pada tanggal 16 Desember tahun 1946 yang diketuai oleh dokter Soedarso. Organisasi ini menentang usul Sultan Hamid II yang akan membentuk negara Kalimantan Barat. Belanda kemudian khawatir kegiatan politik GAPI akan berkembang luas dan semakin mendapat dukungan masyarakat. Oleh karena itu, Belanda segera menangkap dokter Soedarso sebagai ketua GAPI pada tanggal 29 Februari 1948 dan menahannya di penjara Cipinang Jakarta dengan masa hukuman 6 tahun penjara. Setelah dokter Soedarso ditahan di Cipinang Jakarta, GAPI kemudian membentuk suatu panitia dengan nama ”Panitia Urusan Dokter Soedarso”. Pada tanggal 30 Maret 1948, GAPI mengutus M. A. Rani ke Jakarta untuk mengurus soal kasasi dokter Soedarso, tetapi usaha ini tidak berhasil. Walaupun dokter Soedarso dalam masa penahanan, namun dukungan politik yang diberikan kepadanya tetap mengalir. Hal ini dapat dibuktikan sewaktu diadakan pemilihan anggota Dewan Kalimantan Barat (DKB) pada tanggal 23 maret 1948, dimana dokter Soedarso meraih suara terbanyak.
Dokter Soedarso bebas dari penjara Cipinang Jakarta setelah terjadi kesepakatan dalam perjanjian Roem Royen pada akhir tahun 1949. Setelah bebas dari penjara, ia pada tanggal 5 Januari 1950 dicalonkan sebagai Kepala Daerah Kalimantan Barat menggantikan Sultan Hamid II, tetapi pemerintah Dewan Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) menolak usulan tersebut. Dokter Soedarso kemudian terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) mewakili daerah Kalimantan Barat. Dokter Soedarso yang menjadi anggota tim peninjau dari komisi DPRS pernah dikirim ke Kalimantan Barat untuk menyelidiki kasus huru-hara dan pemogokan oleh masyarakat Pontianak terhadap Sultan Hamid II yang menolak kedatangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Kalimantan Barat.
Pada tahun 1952, saat pelantikan R.M. Soeprapto menjadi Residen Kalimantan Barat oleh Menteri Dalam Negeri M. Roem, S.H, dokter Soedarso diminta untuk memberikan kata sambutan. Dalam acara yang juga dihadiri oleh Gubernur Kalimantan Barat dokter Murjani, dokter Soedarso melontarkan keinginannya agar Kalimantan Barat menjadi sebuah propinsi tersendiri. Usul dokter Soedarso tersebut diterima dan kemudian terbentuklah Propinsi Kalimantan Barat pada tanggal 29 Januari tahun 1957.
Selanjutnya pada tahun 1958-1960, Gubernur R.D. Asikin dan Kolonel Sudharmo memilih dokter Soedarso sebagai anggota Dewan Perencanaan Nasional (DEPERNAS) mewakili Kalimantan Barat. Dalam rapat DEPERNAS, dokter Soedarso mengusulkan agar pemerintah Indonesia melakukan program transmigrasi ke Kalimantan Barat mengingat penduduknya masih jarang. Usulan program transmigrasi ke Kalimantan Barat ini diterima dan berjalan dengan baik. Kemudian pada tahun 1960-1966, dokter Soedarso dipilih sebagai anggota MPRS oleh DPRD tingkat I Kalimantan Barat. Di dalam MPRS, dokter Soedarso mengusulkan agar badan-badan yang mempunyai bidang yang sama dalam pemerintahan sebaiknya dilebur menjadi satu badan saja demi penghematan tenaga, waktu dan uang. Selain berkecimpung dalam dunia politik, dokter Soedarso sebagai seorang dokter juga aktif dalam kegiatan sosial kemanusiaan. Pada tahun 1953, ia diangkat sebagai direktur sekaligus ketua Yayasan Rumah Sakit Bersalin Pontianak sampai tahun 1976. Selama kepemimpinannya, keadaan Rumah Sakit Bersalin Pontianak mengalami kemajuan. Segala fasilitas ruangan dan peralatan telah dilengkapi sehingga kini menjadi salah satu rumah sakit bersalin yang besar di Pontianak.
Pada tahun 1955, dokter Soedarso mendirikan Sekolah Pendidikan Bidan di Pontianak. Sekolah ini dibuka karena masih kurangnya tenaga bidan di Kalimantan Barat. Selain itu, ia juga melakukan perubahan status pendidikan perawat di Rumah Sakit Umum Sei Jawi dari pendidikan kursus Juru Rawat menjadi Sekolah Perawat. Di luar kota Pontianak, ia mendirikan Sekolah Juru Kesehatan di daerah Sintang dan Ketapang. Sedangkan di Pemangkat, dokter Soedarso dikenal sebagai pendorong berdirinya sebuah rumah sakit swasta yang dalam penggunaannya kemudian diserahkan kepada Pemerintah Daerah.
Dokter Soedarso merupakan salah seorang perintis berdirinya sekolah kejuruan di Pontianak, diantaranya SMEA Negeri, Kursus Guru Taman Kanak-kanak dan SKKA Negeri Pontianak. Pada tahun 1958 sampai 1974, Departemen Kesehatan mengangkat dokter Soedarso sebagai Inspektur Kesehatan di Kalimantan Barat dan merangkap sebagai ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Kalimantan Barat. Di bidang pendidikan umum, ia juga dikenal sebagai salah seorang pelopor pendirian Universitas Tanjungpura (UNTAN) pada tahun 1959.
Partisipasi dokter Soedarso dalam bidang kesehatan dan sosial di Kalimantan Barat cukup besar. Oleh karenanya, pada tahun 1971, Pangdam XII Tanjung Pura Soemadi, memberikan anugerah Tanda Penghargaan ”Satya Lanjtana Dharma Pala” kepada dokter Soedarso atas jasanya dalam bidang kesehatan sewaktu menumpas gerakan PGRS di Kalimantan Barat. Kemudian pada tahun 1975, ia mendapatkan penghargaan tanda ”Satya Lancana Kebaktian Sosial” dari Departemen Sosial Kalimantan Barat.
Dalam kehidupan keluarga, dokter Soedarso pernah menikah dua kali. Pernikahannya yang pertama dengan Soetitah dan dikaruniai tujuh orang anak. Ketujuh orang anak dokter Soedarso yang lahir dari perkawinannya dengan Soetitah bernama Agus Sutiarso, Agus Setiadi, Andarwini, Sriyati Supranggono, Sri Rezeki Norodjati, Agus Setiawan dan Sri Astuti Suparmanto. Sedangkan pernikahannya yang kedua dengan Hartati pada tahun 1962 setelah istri pertamanya meninggal dunia. Dari pernikahannya yang kedua, dokter Soedarso dikaruniai seorang orang anak perempuan bernama Savitri Tri Haryono.
Pada usia 69 tahun dokter Soedarso meninggal dunia karena sakit. Dokter Soedarso meninggal pada hari Senin tanggal 8 Maret 1976 di Rumah Sakit Sei Jawi Pontianak. Beliau dimakamkan di pemakaman Muslim di Kampung Bangka Pontianak.
Dokter Soedarso adalah seorang tokoh yang ulet dan berwawasan luas. Jasa dan pengabdiannya begitu besar untuk masyarakat Kalimantan Barat sehingga generasi muda sebagai generasi penerus bangsa diharapkan mampu mengikuti jejak-jejaknya. Sikap dan perjuangannya layak menjadi teladan bagi generasi muda penerus bangsa.

Pangeran Nata Kusuma

Pangeran Nata Kesuma merupakan salah seorang tokoh pejuang dari kerajaan Landak yang menentang penjajahan Belanda di Kalimantan Barat. Nama aslinya adalah Gusti Abdurrani. Ia putera dari Panembahan Gusti Abdulmajid yang memerintah kerajaan Landak pada tahun 1872-1875. Sejak masa mudanya, Pangeran Nata Kesuma telah mempunyai sifat-sifat yang baik, ramah tamah, suka menolong dan selalu dekat dengan rakyat. Pangeran Nata Kesuma sangat menentang kehadiran Belanda di kerajaan Landak terutama berkenaan dengan adanya kontrak kerjasama antara kerajaan Landak dan Belanda yang isinya lebih banyak merugikan kepentingan kerajaan Landak dan rakyatnya.
Kontrak kerjasama antara kerajaan Landak dengan Belanda dimulai pertama kali pada tanggal 31 Mei 1845 semasa pemerintahan Panembahan Machmud Akamuddin. Perjanjian tersebut dilanjutkan dengan ditandatanganinya kontrak kerjasama yang baru pada tanggal 17 Juli 1859, sewaktu kerajaan Landak diperintah oleh Panembahan Ratu Adi Kesuma Amaruddin. Perjanjian tahun 1859 ini dikenal dengan nama Lange Contract 1859. Kemudian semasa pemerintahan wakil Panembahan Pangeran Wiranata, pada tanggal 5 Juli 1883 diadakan lagi kontrak kerjasama yang baru antara kerajaan Landak dengan Belanda. Perjanjian ini diperbaharui lagi pada masa pemerintahan wakil Panembahan Landak Pangeran Mangkubumi Gusti Bujang dengan ditandatanganinya Politiek Contract bertanggal 8 Oktober 1909.
Dari berbagai kontrak kerjasama yang pertama sampai dengan Politiek Contract menunjukkan bahwa semua kontrak itu secara berangsur-angsur telah mempersempit ruang gerak dan kekuasaan kerajaan Landak. Hal tersebut dibuktikan dari isi kontrak yang merugikan kerajaan Landak antara lain :
1. Administrasi kerajaan Landak dipegang langsung oleh pemerintah Belanda, yang dikuasakan langsung kepada Controlour. Jabatan Menteri dihapuskan, jabatan Pembekal diubah menjadi Kepala Distrik dan jabatan Panembahan hanya berfungsi sebagai mandor saja;
2. Apanage dihapuskan dan diganti dengan belasting yang harus dibayar dalam bentuk uang;
3. Di samping membayar belasting, rakyat juga diwajibkan melakukan kerja rodi selama 20 hari dalam setahun;
4. Pajak 10% dikenakan untuk hasil hutan dan pajak cukai bagi penambangan emas dan intan;
5. Perjanjian Dua Belas Perkara yang dibuat oleh Raja Abdulkahar Ismahayana dengan saudara seibunya Ria Kanuhanjaya dihapuskan;
6. Hukum Adat mulai disingkirkan dan Pengadilan Negeri mulai diterapkan.
Hal tersebut di atas membuat rakyat kerajaan Landak menderita. Di samping itu terjadi pula perpecahan di antara keluarga kerajaan Landak antara yang pro dan kontra dengan kehadiran Belanda. Melihat keadaan demikian, Pangeran Nata Kesuma yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri di kerajaan Landak merasa sangat sedih dan prihatin.
Pangeran Nata Kesuma merasa tidak senang dengan kehadiran Belanda di kerajaan Landak karena dinilainya telah merugikan pihak kerajaan Landak sehingga rakyat menjadi sengsara dan terjadi perpecahan di antara keluarga kerajaan. Pangeran Nata Kesuma kemudian merencanakan perlawanan terhadap Belanda di kerajaan Landak. Dengan dibantu oleh Ja’ Bujang yang bergelar Wedana Jaya Kesuma dan beberapa orang kepercayaannya, yakni : Panglima Ganti, Panglima Bida, Panglima Daud dan Panglima Anggui, Pangeran Nata Kesuma secara diam-diam mengorganisir suatu perlawanan terhadap Belanda. Pangeran Nata Kesuma kemudian mengirimkan damak (sejenis tongkat komando) ke seluruh rakyat di pelosok kerajaan Landak. Pengiriman damak tersebut dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar dukungan dan sambutan rakyat kerajaan Landak dalam mendukung rencana Pangeran Nata Kesuma menghadapi Belanda. Rakyat kerajaan Landak menyambut dengan semangat ajakan dari Pangeran Nata Kesuma yang berniat melawan Belanda. Pemberontakan Pangeran Nata Kesuma berlangsung selama 2 tahun, yakni tahun 1913-1914. Pemberontakan ini membuat Belanda kewalahan. Untuk meredam pemberontakan, Belanda mengatur siasat untuk menangkap Pangeran Nata Kesuma. Setelah mendatangkan bantuan pasukan dari Pontianak, Belanda menyerbu ke tempat persembunyian Pangeran Nata Kesuma. Dengan menggunakan kapal Kahar, pasukan Belanda langsung mendarat dan mengepung Istana Pedalaman dan menangkap Pangeran Nata Kesuma.
Selanjutnya Belanda membawa Pangeran Nata Kesuma dengan kapal menyusuri sungai Landak menuju ke kampung Munggu (± 8 km dari Ngabang) menuju lokasi basis pertahanan rakyat pengikut Pangeran Nata Kesuma. Siasat Belanda dengan membawa Pangeran Nata Kesuma di atas kapal dimaksudkan untuk menunjukkan kepada para pemberontak/pengikut Pangeran Nata Kesuma bahwa perdamaian antara Belanda dengan Pangeran Nata Kesuma telah tercapai. Pangeran Nata Kesuma sempat memberikan isyarat dengan tangannya kepada pengikutnya supaya perlawanan diteruskan. Tetapi hal itu telah salah ditafsirkan oleh para pengikutnya sehingga tidak terdengar bunyi tembakan sebagai tanda adanya perlawanan terhadap Belanda.
Demikianlah Belanda telah berhasil menjalankan siasatnya. Perang yang telah berkobar selama dua tahun dapat dihentikan. Meskipun telah banyak korban berguguran, baik dari pihak rakyat maupun Belanda, namun dengan dapat dihentikannya peperangan/pemberontakan ini pihak Belanda merasa lega sehingga roda pemerintahan kolonial dapat berjalan kembali. Setelah perjuangan fisik bersenjata pada tahun 1913-1914 tersebut, semangat perjuangan rakyat Landak masih tetap terus menyala, tetapi berhubung dengan situasi tidak mengijinkan, maka perjuangan lebih diarahkan kepada gerakan nasional.
Setelah ditangkap oleh Belanda, Pangeran Nata Kesuma kemudian diadili. Pengadilan Belanda di Batavia memutuskan bahwa Pangeran Nata Kesuma harus menjalani hukuman pembuangan ke Bengkulu. Sementara nasib pengikut Pangeran Nata Kesuma adalah sebagai berikut, Panglima Ganti dihukum 20 tahun penjara, Pangeran Daud melarikan diri ke Serawak Malaysia serta Panglima Bida dan Panglima Anggui tidak diketahui bagaimana nasibnya.
Dalam pengasingannya di Bengkulu, Pangeran Nata Kesuma diikuti oleh dua orang istrinya yaitu Encik Hajjah dan Nyimas Ahim serta beberapa puteranya diantaranya Gusti Affandi. Selama pengasingannya, Pangeran Nata Kesuma tidak pernah menerima bantuan keuangan dari pemerintah Belanda. Ia mencari nafkah untuk membiayai kebutuhan sendiri. Pangeran Nata Kesuma meninggal dunia di kampung Kelawi Bengkulu pada tahun 1920 dan dimakamkan di kampung tersebut. Masyarakat setempat di Bengkulu mengenal makam Pangeran Nata Kesuma sebagai makam Raja Borneo. Kerangka jenazah Pangeran Nata Kesuma dimakamkan kembali di kompleks pemakaman keluarga raja-raja Landak pada tanggal 27 September 1981 di Ngabang.
Sikap dan perbuatan Pangeran Nata Kesuma dalam menentang penjajah Belanda patut dijadikan teladan. Tekad dan keputusannya dalam berjuang tetap kokoh walaupun Pangeran Nata Kesuma menyadari bahwa ia dan pengikutnya hanya bermodalkan senjata tradisional menghadapi pasukan Belanda yang bersenjata lebih modern. Namun, terbukti pemberontakan yang dilakukannya mampu membuat Belanda kewalahan. Generasi muda sebagai generasi penerus bangsa, hendaknya mewarisi jiwa dan semangat anti penjajahan yang dimiliki oleh Pangeran Nata Kesuma. Rela berkorban demi tegaknya keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak.

Siradj Sood

Siradj Sood merupakan salah seorang tokoh pejuang dari Kabupaten Sambas Kalimantan Barat. Haji Muhammad Siradj Sood atau yang biasa dikenal dengan Siradj Sood lahir pada tanggal 27 Muharram 1320 Hijriyah di kampung Tumuk, Kabupaten Sambas Kalimantan Barat. Orangtuanya bernama Haji Sood dan Hajjah Zaenab, keduanya dari suku Melayu Kabupaten Sambas. Siradj Sood merupakan anak kelima dari tigabelas bersaudara. Ayah Siradj Sood bekerja sebagai pedagang dan memiliki kebun karet yang luas. Ayah Siradj Sood pernah mendapat gelar kehormatan sebagai “Datuk Kaya Lela Mahkota” yang diberikan oleh Sultan Sambas yang bernama Sultan Muhammad Syafiuddin II dan diangkat sebagai penasehat di bidang perekonomian dan perdagangan di kerajaan Sambas.
Siradj Sood pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR). Dalam pergaulannya, ia termasuk luwes dan banyak bergaul dengan teman-temannya. Ia suka memberi perhatian dan pertolongan bagi siapapun yang memerlukannya. Pada tahun 1921, Siradj Sood menunaikan ibadah haji di Mekah. Kemudian pada tanggal 14 Jumadil Awal 1342 Hijriyah, ia menikah dengan seorang gadis bernama Sakura. Istri Siradj Sood yang bernama Sakura ini meninggal dunia pada saat melahirkan anak mereka yang bernama Muhammad Sood. Dari pernikahannya dengan Sakura, Siradj Sood dikaruniai sebelas orang anak. Setelah kematian istrinya, Siradj Sood menikah kembali dengan Daeng Supiah. Pernikahannya yang kedua tidak berlangsung lama karena Daeng Supiah meninggal dunia dan tidak diperoleh keturunan darinya. Siradj Sood menikah untuk yang ketiga kalinya dengan Rasidah. Dari pernikahannya dengan Rasidah, ia memperoleh tiga orang anak. Siradj Sood bekerja mengelola tanah kebun miliknya. Ia pernah pula bekerja sebagai pemasok berbagai keperluan di sebuah perusahaan karet bernama Maskapai Naho Ben Zi San. Ia juga meneruskan usaha ayahnya dalam bidang hiburan dengan membuka usaha bioskop. Pada masa Jepang, dua anak Siradj Sood yaitu Muhtadi dan Abdul Salam pernah secara terpaksa menjadi anggota Heiho (tentara Jepang). Hal ini dilakukan sebagai jaminan agar Siradj Sood tidak ditangkap oleh Jepang yang menaruh curiga terhadap orang pribumi yang dianggap cerdik dan terpandang.
Di wilayah Sambas, berita proklamasi kemerdekaan Indonesia baru dapat diterima pada bulan Oktober tahun 1945 melalui siaran radio Serawak, Malaysia Timur. Selain itu, berita proklamasi kemerdekaan juga dibawa oleh Ismail dan Zain Zakaria yang datang dari Pontianak ke Sambas. Dalam menyikapi berita kemerdekaan Indonesia tersebut, tokoh-tokoh pejuang pergerakan di Sambas segera membentuk sebuah organisasi bernama Persatuan Bangsa Indonesia Sambas (PERBIS) pada tanggal 13 Oktober 1945. Organisasi PERBIS ini dipimpin oleh Siradj Sood, Naim A. Razak, M. Kemat, M. Umar Sood dan Hamidi A. Rachman.
Selanjutnya pada tanggal 15 Oktober 1945, PERBIS mengadakan rapat yang pertama untuk membicarakan tentang upaya penyebarluasan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia agar dapat diketahui oleh seluruh masyarakat Sambas. Pada saat rapat berlangsung, Polisi Belanda mendatangi tempat pertemuan tersebut. Asisten Residen Brieckvild kemudian bertemu dengan Siradj Sood selaku pemimpin PERBIS untuk menawarkan kerja sama agar PERBIS membantu Belanda dalam menjalankan pemerintahannya di Sambas. Penawaran kerja sama Brieckvild tersebut tidak diterima oleh Siradj Sood dan kawan-kawannya dengan alasan bahwa bangsa Indonesia sudah merdeka dan terlepas dari segala bentuk penjajahan dari bangsa manapun.
Karena organisasi PERBIS menolak untuk bekerjasama, Asisten Residen Brieckvild kemudian memerintahkan Kapten Van der Schoors untuk menghancurkan PERBIS yang dianggap melawan Belanda. Dalam usaha menghancurkan PERBIS, pasukan Belanda meminta bantuan kepada Polisi Keamanan Umum (PKO) yang dipimpin oleh seorang Indo Belanda bernama Rudolf van der Lief atau Tuan Dolof.
Diceritakan bahwa pada tanggal 26 Oktober 1945, Muhammad Akir dan rombongannya dari Pemangkat datang ke Sambas untuk mengadakan rapat dengan PERBIS di Gedung Sekolah Tarbiyatul Islam Sambas. Mereka datang menggunakan sebuah truk yang dipadati oleh orang-orang yang cinta kemerdekaan. Di sepanjang perjalanan, rombongan itu mengibar-kibarkan bendera merah putih sambil meneriakkan “merdeka, merdeka, merdeka”. Kedatangan rombongan dari Pemangkat tersebut mendapat sambutan hangat dari seluruh masyarakat Sambas. Selanjutnya pada malam hari mereka mengadakan rapat di rumah Siradj Sood di kampung Tumuk untuk membicarakan segala rencana yang akan dilakukan dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Rapat tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa akan diadakan rapat umum masyarakat Sambas pada tanggal 27 Oktober 1945, bertempat di gedung bioskop milik Siradj Sood. Tujuan diadakannya rapat umum itu adalah untuk menumbuhkan dan membakar semangat masyarakat Sambas dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Sesuai dengan waktu yang disepakati, pada tanggal 27 Oktober 1945, pukul 08.00 WIB, masyarakat Sambas berkumpul di gedung bioskop Indonesia Theatre untuk mengikuti rapat umum yang diadakan oleh PERBIS. Kemudian pada pukul 11.00 WIB, dari gedung bioskop mereka berjalan menuju ke kantor Kontrolir Sambas. Di halaman kantor Kontrolir Sambas ternyata sudah berkibar bendera Belanda yang terdiri dari tiga warna yaitu merah, putih dan biru. Melihat bendera Belanda berkibar, masyarakat Sambas menjadi marah dan segera menurunkan bendera Belanda tersebut. Bendera Belanda kemudian disobek pada bagian yang berwarna biru dan dinaikkan kembali sehingga yang berkibar adalah bendera merah putih.
Setelah mengibarkan bendera merah putih yang diiringi lagu Indonesia Raya disertai pekikan salam kemerdekaan, masyarakat kemudian memasuki kantor pemerintah Belanda dan memporakporandakannya. Pasukan Belanda melalui Van der Lief mengancam masyarakat Sambas yang sedang mengamuk di Kantor Kontrolir dengan pistol. Namun masyarakat tidak mempedulikan ancaman tersebut, bahkan massa semakin marah dan mengeroyok Van der Lief hingga tewas.
Dari kantor pemerintah Belanda, masyarakat kemudian bergerak menuju ke kompleks Kesultanan Sambas guna mengibarkan bendera merah putih sebagai bukti bahwa Indonesia sudah merdeka. Namun di tengah perjalanan mereka dihadang oleh serdadu Belanda dibawah pimpinan Kapten Van der Schoor. Kapten Van der Schoor memerintahkan agar massa tidak melakukan perlawanan terhadap Belanda dan mengurungkan niatnya untuk mengibarkan bendera merah putih di kompleks Kesultanan Sambas. Tetapi perintah Van der Schoor tersebut tidak dipedulikan oleh massa. Bahkan salah seorang anggota PERBIS yang bernama Tabrani Ahmad dengan gagah berani maju untuk mengibarkan bendera merah putih sambil berteriak lantang “merdeka, merdeka, merdeka”. Tindakan Tabrani Ahmad tersebut membuat pasukan Belanda marah dan kemudian menembak Tabrani Ahmad hingga tewas.
Pada peristiwa berdarah tanggal 27 Oktober 1945, Siradj Sood mengalami luka parah akibat tertembak peluru Belanda. Hal tersebut terjadi pada waktu ia berlari untuk merebut bendera merah putih dari tangan Tabrani Ahmad yang ditembak Belanda dengan maksud agar bendera merah putih itu tidak jatuh ke tanah. Setelah tertembak, Siradj Sood berpura-pura mati dan tidak bergerak sehingga Belanda menganggapnya sudah tewas. Melihat Belanda telah pergi, Siradj Sood kemudian merangkak menuju ke belakang keraton dan di sana ia diselamatkan oleh orang-orang yang masih hidup. Siradj Sood dibawa ke kampung Tumuk dengan menggunakan sampan. Peluru yang bersarang di tubuh Siradj Sood berhasil dikeluarkan oleh Dr. Salekan yang dibantu oleh Mantri Saleh. Sedangkan Tabrani Ahmad, teman seperjuangan Siradj Sood, gugur ditembak Belanda. Menanggapi adanya perlawanan masyarakat Sambas dan agar perlawanan tersebut tidak menyebarluas maka Belanda kemudian menangkap Siradj Sood selaku pemimpin PERBIS. Ia dituduh sebagai otak penggerak perlawanan masyarakat terhadap Belanda di Sambas. Setelah ditangkap, Siradj Sood menjalani hukuman penjara selama 2 tahun di penjara Sungai Jawi Pontianak. Pada tahun 1949, Siradj Sood bebas dari penjara dan kembali ke Sambas. Beliau berkumpul kembali ke tengah-tengah keluarga dan bergabung dengan masyarakat Sambas. Pada tanggal 23 Maret 1972, Siradj Sood meninggal dunia karena sakit dan jenazahnya dimakamkan di kampung Tumuk Kabupaten Sambas.
Perjuangan Siradj Sood untuk bangsa dan negaranya patut diteladani oleh generasi muda. Jiwa pengorbanan yang dimiliki oleh Siradj Sood membuat penjajah Belanda harus bersusah payah dalam upayanya menjajah kembali Kalimantan Barat khususnya di daerah Sambas. Jiwa kepahlawanan Siradj Sood dapat ditunjukkan ketika dirinya rela tertembak peluru Belanda demi meraih bendera merah putih agar tidak jatuh ke tanah. Bahkan pada akhirnya, dirinya dipenjara oleh Belanda karena dituduh sebagai salah satu tokoh penggerak peristiwa berdarah tanggal 27 Oktober 1945 di Sambas.

Rahadi Oesman

Rahadi Osman merupakan seorang pejuang kemerdekaan dari Kalimantan Barat. Ia lahir pada tanggal 1 Agustus 1925 di Pontianak, Propinsi Kalimantan Barat dari pasangan suami-istri bernama Ismail Osman dan Sutinah Harjo Soegondho. Keluarga Ismail Osman dikaruniai tujuh orang anak. Pada mulanya, Rahadi Osman diberi nama Abdul Syukur atau dengan nama kecil sering dipanggil ”Tjong”. Abdul Syukur merupakan nama pemberian kakek dari ayahnya yang bernama Haji Osman bin Walhidin yang berasal dari Yogyakarta. Tetapi kemudian, oleh kakek dari sebelah ibunya memberi nama Rahadi Osman dan akhirnya jadilah nama tersebut seperti nama yang kita kenal sampai saat ini.
Rahadi Osman merupakan putra pertama dan satu-satunya anak laki-laki yang lahir dalam keluarga Ismail Osman. Saudaranya yang lain adalah Rahajoe Osman, Rahajeng Rachman Arif, Rahasri Ibrahim Saleh, Rahapik Badra, Rahaloes Rusadi dan Rahani A. Syafei. Ayah Rahadi Osman merupakan seorang pengusaha yang ternama. Ia pernah duduk sebagai sekretaris dalam organisasi Persatuan Anak Borneo (PAB) Kalimantan Barat yang pada saat itu ketuanya Raden Muslim Nalaprana yang dibantu oleh Gusti Putra sebagai pemimpin pemuda. Pada waktu Jepang berkuasa di Kalimantan Barat, Ismail Osman termasuk orang yang ditangkap oleh tentara Jepang. Setelah ditangkap oleh tentara Jepang, Ismail Osman tidak diketahui lagi keberadaannya. Kemungkinan Ismail Osman telah dibunuh oleh Jepang.
Rahadi Osman memiliki perawakan tubuh yang besar, tinggi, tegap dan berkacamata. Kepribadian, gaya hidup dan penampilannya sederhana. Ia Pertama-tama mengenyam pendidikan di Europesche Langere School (ELS) di Pontianak. Sekolah ELS adalah sekolah setingkat dengan sekolah dasar yang khusus bagi anak-anak Eropa. Di samping itu, kepada anak-anak pembesar pribumi juga diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan di ELS. Bahasa pengantar yang dipakai adalah bahasa Belanda sehingga sudah sepantasnya apabila Rahadi Osman dapat menggunakan bahasa Belanda. Ia dapat bersekolah di ELS karena tidak terlepas dari peranan dan kedudukan orang tuanya, Ismail Osman, yang pada waktu itu termasuk orang yang sukses dalam dunia usaha percetakan dan juga sering berhubungan dengan pejabat pemerintah Hindia Belanda yang memerlukan jasa perusahaannya. Ia termasuk anak yang rajin dan berprestasi. Ia dapat menyelesaikan sekolahnya di ELS dengan baik selama tujuh tahun (1930 – 1937), sesuai dengan waktu yang ada dalam kurikulum sekolah itu.
Setelah tamat dari ELS, pada tahun 1937 ia melanjutkan pendidikannya ke Hongere Burgerlijke School – Koning Willem III (HBS – K.W. III) selama lima tahun di Jakarta. Sejak ia menuntut ilmu di HBS, ia aktif sebagai anggota dalam organisasi Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) di Jakarta. Kegiatan organisasi KBI adalah untuk membangkitkan rasa kebangsaan bagi pemuda-pemuda Indonesia. Selanjutnya Rahadi melanjutkan pendidikannya ke Geneeskundinge Hoge School (GHS) atau Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. Pada zaman Jepang sekolah ini bernama Ika Dai Ghaku dan pada saat sekarang sekolah ini bernama Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang terletak di Jalan Salemba Jakarta. Selama kuliah di sekolah kedokteran di Jakarta, ia melakukan berbagai pengabdian untuk bangsanya. Sebagai tanda bukti pengakuan dari pengabdiannya, nama Rahadi Osman tercantum pada urutan pertama dalam sebuah batu prasasti yang ada di ruang sebelah kiri gedung Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Selama di Jakarta, ia pernah tinggal di Asrama Prapatan 10 Jakarta. Asrama ini merupakan asrama mahasiswa kedokteran Jakarta yang biasa digunakan sebagai pusat kegiatan pemuda pelajar dan mahasiswa pada saat-saat menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia. Asrama tersebut sebagai markas gerakan bawah tanah dalam menyusun kegiatan dan strategi perjuangan. Oleh karena itu, pada zaman Jepang tempat tersebut selalu mendapat pengawasan.
Rahadi Osman juga bergabung dalam gerakan pemuda Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni. Pada tanggal 15 Agustus 1945, dalam perang Asia Timur Raya Jepang menyerah kalah kepada Sekutu. Meskipun demikian, Jepang masih tetap bersikap keras terhadap bangsa Indonesia. Para pemuda pejuang yang menginginkan bangsa Indonesia terlepas dari belenggu penjajahan Jepang kemudian mengadakan rapat untuk membicarakan persiapan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Rapat tersebut antara lain dihadiri oleh Adam Malik, Wibowo, Djohar Noor, Dick Soedarsono, Ali Akbar, Rahadi Osman dan Ridwan. Rapat yang kedua pada keesokan harinya dihadiri antara lain oleh Syahrir, Darwis, Ridwan, Chaerul Saleh, Eri Sadewo dan lain-lain.
Rapat yang kedua pada tanggal 16 Agustus 1945 tersebut menghasilkan keputusan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 akan dilangsungkan Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Setelah teks proklamasi dikumandangkan, para pemuda pejuang segera menyebar ke seluruh kota di Indonesia untuk mempropagandakan teks proklamasi. Berita proklamasi juga akan disiarkan melalui radio dari studio radio di Jakarta. Hasil keputusan rapat lainnya adalah akan dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dikemudian hari berubah nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Setelah teks proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945, pada hari itu juga, Chairul Saleh memerintahkan Des Alwi, Ridwan dan Rahadi Osman membawa teks proklamasi untuk disiarkan melalui studio radio Jepang yang ada di Jakarta. Pekerjaan Rahadi Osman dan teman-temannya tersebut penuh dengan tantangan karena di dalam dan sekitar lokasi studio radio selalu ada serdadu Jepang yang berjaga-jaga. Melalui usaha keras, akhirnya teks proklamasi berhasil dibawa ke dalam studio radio Jepang dan warta berita teks proklamasi berhasil disiarkan pada jam 1 siang tanggal 17 Agustus 1945.
Dengan menyadari arti penting perjuangan kemerdekaan, Rahadi Osman cepat mengerti akan situasi dan keadaan. Kehancuran Republik berarti kembalinya penjajahan di bumi Indonesia. Oleh karena itu, Rahadi Osman menerjunkan diri bersama teman-teman dan lapisan masyarakat dalam kancah perjuangan mempertahankan proklamasi.
Sebagai langkah pertama perjuangannya di Kalimantan Barat, pada awal bulan Oktober 1945, Rahadi Osman dan teman-teman seperjuangannya menggabungkan diri dalam Palang Merah Indonesia (PMI). Pemakaian nama PMI ini hanya suatu siasat saja untuk memudahkan Rahadi Osman dan teman-temannya sampai di Kalimantan Barat. Usaha tersebut mendapat restu dan persetujuan dari Pangeran Muhammad Noor, yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan pada waktu itu. Sebelum pergi ke Kalimantan Barat, atas rekomendasi dari Ir. P. Muhammad Noor, Rahadi Osman dan rombongan diminta untuk menghadap Menteri Pertahanan Mr. Amir Syarifuddin. Rahadi Osman dan Machrus Effendi kemudian pergi menghadap Mr. Amir Syarifuddin yang pada waktu itu selain menjabat sebagai Menteri Pertahanan dalam kabinet Soekarno juga menjabat sebagai Menteri Penerangan. Setelah mereka menguraikan maksud dan tujuannya untuk berangkat ke Kalimantan Barat maka Mr. Amir Syarifuddin menyetujui dan memberikan sebuah mandat yang berisikan : “Boleh mempergunakan senjata dan membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) serta membentuk pemerintahan setempat”.
Selanjutnya, menjelang pertengahan bulan November 1945, sebanyak 30 orang pemuda telah dipersiapkan untuk berjuang ke Kalimantan Barat. Pemuda-pemuda tersebut tidak hanya berasal dari Kalimantan Barat saja, tetapi ada yang berasal dari Jawa dan Sumatera. Namun rencana keberangkatan ekspedisi pejuang ini tidak terlaksana karena pasukan Belanda tidak mengizinkan keberangkatan kapal motor rombongan ekspedisi dari Tanjung Priok ke Kalimantan Barat. Karena keberangkatannya dihalang-halangi dari Jakarta, Rahadi Osman dan teman-teman seperjuangan akhirnya memilih jalan melalui Pelabuhan Tegal menuju Kalimantan Barat. Tepat pada tanggal 23 November 1945, jam 16.00 Wib, dari Pelabuhan Tegal diberangkatkan dua buah perahu kapal motor. Kapal Motor pertama bernama “Sri Kayung” yang ditumpangi oleh Rahadi Osman dan rombongan sebanyak 43 orang. Kapal ini diarahkan menuju Ketapang, sedangkan perahu yang satunya lagi diarahkan menuju Pontianak. Adapun perlengkapan yang dibawa terdiri dari : satu buah radio pengirim, satu buah radio penerima, beberapa peti alat penerangan, lima pucuk pistol, dua buah granat tangan buatan Jepang, yang ternyata rusak dan tidak boleh dipergunakan serta sejumlah parang.
Keberangkatan rombongan ekspedisi ini dilepas oleh Gubernur Kalimantan Ir. Pangeran Muhammad Noor dan pada waktu pemberangkatannya, Gubernur memberikan petuah kepada rombongan, yang bunyinya antara lain : “Saya bangga terhadap keinsyafan dan kesadaran yang saudara-saudara miliki, padahal saya tahu bahwa di seberang (maksudnya di Kalimantan), saudara berjuang menyabung nyawa, tanpa pamrih dan tanpa mengharapkan sesuatu imbalan dari pemerintah. Tetapi insya Allah, perjuangan maupun pengorbanan saudara tidak sia-sia. Selamat jalan dan selamat berjuang”.
Setelah mendengar petuah tersebut, sebagai komandan, Rahadi Osman tampil sambil berkata : “Apa yang kami lakukan sekarang ini adalah hanya sekedar menunaikan tugas dan kewajiban. Kami sudah terpanggil melaksanakan ini, karena hal ini merupakan aspirasi rakyat dari rakyat yang telah merdeka dan berdaulat. Kami hanya ingin doa restu, semoga perjuangan kami berhasil sebagaimana yang kami harapkan”.
Keberangkatan rombongan Rahadi Osman ini merupakan pasukan ekspedisi pertama yang secara resmi dikirim oleh pemerintah Republik Indonesia ke Kalimantan dalam usaha mengemban tugas-tugas tertentu demi negara. Rombongan yang berjumlah 43 orang ini dipimpin oleh Rahadi Osman sebagai komandan dan Machrus Effendi sebagai kepala staf serta dibantu oleh tiga orang asisten, yaitu Abdul Kadir Kasim, Jafar Said dan A. Tambunan. Sedangkan anggota pasukan lainnya, antara lain tercatat nama Gusti Usman Idris, Haji Abdul Kadir, Rahat Lumbanpea, Soeminta, Tarmizi Arsyad, Hasan Thalib dan lain sebagainya.
Pada tanggal 30 November 1945, rombongan Rahadi Osman berhasil mendarat di pantai kampung Sungai Besar, Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang. Setibanya rombongan di Sungai Besar, mereka diterima dan disambut baik oleh kepala kampung Sungai Besar yang bernama Haji Abdul Rahim Saleh. Seluruh anggota rombongan ditempatkan di sebuah pondok yang berjarak sekitar 2 km dari kampung Sungai Besar. Berdasarkan informasi dari Haji Abdul Rahim Saleh, Rahadi Osman dan rombongan mengetahui bahwasanya kota Ketapang telah diduduki oleh pasukan Belanda yang datang dari Pontianak.
Rahadi Osman kemudian memutuskan kampung Sungai Besar ditetapkan sebagai markas pertahanan sementara bagi pasukan Rahadi Osman. Keputusan tersebut didukung oleh rombongan pasukannya dan penduduk disekitar kampung Sungai Besar. Rahadi Osman dan teman-teman seperjuangannya segera menyusun strategi untuk menghadapi Belanda di Ketapang. Akan tetapi akhirnya Belanda mengetahui adanya aktivitas pejuang yang akan menentang Belanda di Ketapang.
Setelah mengetahui markas persembunyian Rahadi Osman dan teman-teman seperjuangannya, Belanda mulai melakukan penyerangan secara tiba-tiba. Serangan ini menimbulkan kepanikan terhadap anggota pasukan Rahadi Osman. Hal ini terjadi karena ketiadaan senjata untuk menghadang musuh dan ditambah lagi dengan kurangnya pengalaman dalam bertempur. Dalam serangan itu, Belanda kehilangan 3 orang pasukannya. Belanda semakin menekan pasukan Rahadi Osman hingga mengakibatkan Rahadi Osman gugur tertembak. Pasukan Rahadi Osman yang tersisa kemudian mengundurkan diri ke Pulau Bawal.
Sungguh mulia perjuangan Rahadi Osman. Ia tewas akibat tertembak oleh pasukan Belanda dalam pertempuran di Sungai Besar Ketapang. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 7 Desember 1945 di daerah Sungai Besar, Kabupaten Ketapang. Lokasi ini letaknya sekitar 18 kilometer dari kota Ketapang. Setelah mendengar berita meninggalnya Rahadi Osman, ibu dan adik-adiknya merasa terkejut seakan-akan tidak percaya. Tetapi setelah si pembawa berita berhasil memperlihatkan gagang bekas kacamata Rahadi Osman, barulah ibu dan adik-adiknya yakin. Berita meninggalnya Rahadi Osman menambah duka cita ibu dan adik-adiknya karena belum lama sebelumnya, ayah mereka Ismail Osman telah ditangkap Jepang dan belum diketahui bagaimana nasibnya.
Menurut keterangan dari pihak keluarga dan masyarakat setempat, jasad Rahadi Osman yang tewas bersimbah darah itu tetap tergeletak di tempat ia tertembak sampai malam hari. Pada saat itu, tidak seorangpun dari teman seperjuangan atau rakyat setempat yang berani untuk mendekati mayatnya apalagi untuk mengangkatnya, karena pasukan Belanda selalu mengawasi tempat tersebut. Kemudian baru pada malam harinya di saat pasukan Belanda pergi, jenazah Rahadi Osman berhasil diangkat dan dikebumikan di Sungai Besar. Pada masa hidupnya, Rahadi Osman pernah mengatakan bahwa apabila ia tewas dalam pertempuran, permintaannya adalah agar ia dikubur di tempat tetes darahnya yang terakhir. Dengan alasan tersebut, maka jasad Rahardi Osman dikuburkan di kampung Sungai Besar Kabupaten Ketapang. Tetapi kemudian atas dasar kebijaksanan pemerintah Republik Indonesia bahwa pengumpulan jasad para pahlawan yang gugur di medan pertempuran perlu segera dilakukan dan disatukan dalam suatu tempat pemakaman yaitu Taman Makam Pahlawan. Dengan dasar inilah maka pada saat sekarang jenazah Rahadi Osman telah dipindahkan dan dimakamkan kembali di Taman Makam Pahlawan Tanjung Pura yang letaknya sekitar 5 kilometer dari kota Ketapang. Upacara pemakaman kembali kerangka jenazah tersebut berlangsung secara militer dan yang bertindak sebagai pemimpin upacara adalah Gubernur Kalimantan Barat Parjoko.
Dengan meninggalnya Rahadi Osman, berarti kita telah kehilangan seorang tokoh muda yang memiliki rasa nasionalisme tinggi. Generasi muda diharapkan mampu mengikuti jejak perjuanganya dan dan menjadikannya suri tauladan. Sebagai bangsa yang besar, sudah sepantasnya kita menghargai jasa-jasa para pahlawan dan berterimakasih kepada mereka selaku pejuang bangsa.

Bardan Nadi

Bardan Nadi merupakan seorang tokoh pejuang di daerah Ngabang Kalimantan Barat. Ia mempunyai nama asli Sutrisno Sastrokusumo. Ia dilahirkan dari pasangan R. Suratman Nadi Sastrosasmito dan Sarifah pada tahun 1912 di Magelang Jawa Tengah. Ayahnya berasal dari Solo dan ibunya dari Sedayu. Ia merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai anggota pasukan keraton yang ada di Solo. Mereka tinggal di asrama di sekitar lingkungan keraton. Belanda kemudian merekrut R. Suratman menjadi anggota pasukan Belanda. Ia sering berpindah tempat tinggal karena mengikuti tugas ayahnya yang sering berpindah-pindah tempat tugas. Beberapa tempat yang telah diinjak dan dikenali olehnya antara lain Magelang, Semarang, Aceh, Bogor, Jakarta, Pontianak dan Ngabang. Selama mengikuti tugas orangtuanya, ia melihat banyak tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Oleh karena itu, ia bertekad tidak ingin membiarkan nasib bangsanya terus larut dalam penjajahan bangsa Belanda.
Dalam riwayat pendidikan, pertama-tama ia bersekolah di Holland Inlandsche School (HIS), kemudian ia melanjutkan ke tingkat Sekolah Pertama. Ia termasuk anak yang pintar. Ia gemar membaca buku-buku tentang pergerakan kebangsaan, keagamaan, kesenian dan olah raga. Selain belajar, ia juga senang mengikuti kegiatan kepanduan dan organisasi. Sifat dan tata krama Bardan Nadi yang sangat berbeda dengan anak-anak lainnya membuat orangtua teman sepermainannya memberikan nama tambahan “Bardan” kepadanya. Bardan dalam bahasa Arab berarti sejuk.
Bardan Nadi tumbuh menjadi seorang pemuda yang memiliki kepribadian, gaya hidup dan penampilan yang sederhana. Sikapnya ramah, suka menolong dan percaya diri sendiri. Setelah dewasa ia mempersunting seorang gadis dari Pontianak bernama Rahimi. Ia dan istrinya menetap di desa Sepatah, Sengah Temila daerah Ngabang. Mereka dikaruniai empat orang anak. Pada tahun 1944 Rahimi meninggal dunia karena sakit. Setelah kematian istrinya, ia tidak menikah kembali. Tugas merawat, mendidik dan membesarkan anak-anak dilakukannya sendiri.
Bardan Nadi bekerja pada salah satu instansi Belanda yang ada di Ngabang. Selain menekuni pekerjaannya, secara diam-diam ia juga menekuni kegiatan politik untuk menentang penjajah Belanda. Pada tahun 1936, ia dan para pemuda Ngabang mendirikan perkumpulan kepemudaan bernama Surya Wirawan dan perkumpulan organisasi politik bernama Partai Indonesia Raya (Parindra). Ia berjuang bersama teman-temannya, antara lain Gusti Tamdjid, Gusti Lagum, Gusti Machmud Aliuddin, Sabran dan Gusti Affandi Rani. Kegiatan Bardan Nadi dalam berpolitik akhirnya diketahui oleh atasannya dan atasannya menilai bahwa kegiatan politik Bardan Nadi dapat membahayakan pemerintah kolonial Belanda. Kepala Pemerintah Kolonial Belanda di Ngabang kemudian meminta Bardan Nadi untuk menentukan 2 pilihan yaitu bekerja terus pada kantor instansi Belanda dengan meninggalkan semua kegiatan politiknya atau berhenti bekerja pada kantor instansi Belanda. Ia akhirnya memilih berhenti dari pekerjaannya di kantor instansi Belanda di Ngabang. Perjuangan Bardan Nadi sungguh mulia, ia rela mengorbankan dan meninggalkan jabatan dan pekerjaannya demi perjuangan.
Bardan Nadi kemudian pindah dan bekerja pada instansi Departemen Pekerjaan Umum. Di tempat pekerjaan barunya, secara diam-diam ia tetap melanjutkan kegiatan politiknya, baik dalam Parindra maupun Surya Wirawan. Kegiatan politiknya tersebut akhirnya diketahui kembali oleh Belanda, tetapi Belanda tidak dapat langsung menindaknya karena bukti-bukti yang menyatakan adanya keterlibatan politik organisasi yang dipimpinnya tidak berhasil ditemukan.
Pada masa Jepang berkuasa di Kalimantan Barat, Bardan Nadi masih tetap menekuni pekerjaannya sebagai mandor Pekerjaan Umum. Tetapi dalam bidang politik, kegiatan organisasi dan perjuangan pergerakan tidak dapat diteruskannya karena Jepang melarang setiap kegiatan organisasi. Jepang bertindak sangat hati-hati dan selalu mempunyai rasa curiga terhadap bangsa pribumi. Suatu pengalaman pahit nyaris menimpa Bardan Nadi bersama dengan ketujuh orang temannya, ketika mereka disuruh mengisi daftar asal-usul/daftar riwayat hidup yang telah dipersiapkan Jepang dalam rangka penangkapan. Mereka yang menjadi sasaran adalah Bardan Nadi, Sultan Abdul Latif, Gusti Machmud Aliuddin, Gusti Zainul Arifin, Gusti Lagum, Ya’ Bun Ya dan dua orang bangsa Cina. Adapun tujuan penangkapan mereka adalah karena Jepang menganggap mereka termasuk tokoh yang berpengaruh di masyarakat. Tetapi kemudian Bardan Nadi dan kawan-kawannya berhasil lolos dari rencana penangkapan dan pembunuhan oleh tentara Jepang tersebut.
Dalam rangka memperkuat pasukannya di Indonesia, Jepang membentuk barisan pemuda yang dinamakan Seinendan. Bardan Nadi dan teman-temannya turut bergabung dalam Seinendan wilayah Distrik Sengah Temila desa Sepatah. Di desa Sepatah inilah, Bardan Nadi dan teman-temannya pernah mengadakan upacara penaikan Sang Saka Merah Putih tanpa didampingi bendera Jepang (Hinomaru). Tindakan patriotik tersebut mendapat dukungan dari masyarakat dan pejuang kemerdekaan.
Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 baru dapat diterima di Pontianak pada akhir bulan Agustus 1945 melalui sebuah radio milik seorang pemuda bernama Sukandar. Sedangkan di Ngabang, berita proklamasi baru dapat diketahui pada bulan Oktober 1945 melalui telepon yang dikirim oleh Gusti Abdul Hamid yang sedang berada di Pontianak. Setelah mendengar berita proklamasi, tokoh-tokoh pejuang di Ngabang merasa tergugah untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Karena walaupun bangsa Indonesia sudah memproklamirkan kemerdekaannya, tetapi masih harus berhadapan lagi dengan Belanda yang ingin menjajah kembali bangsa Indonesia.
Bardan Nadi dan teman-teman seperjuangannya membentuk organisasi Persatuan Rakyat Indonesia (PRI) pada bulan Maret tahun 1946. Gusti Abdul Hamid ditunjuk sebagai ketua dan Gusti Affandi selaku wakil Panembahan Landak ditunjuk sebagai pelindung PRI. Di Pontianak, organisasi sejenis PRI ini bernama Panitia Penyongsong Republik Indonesia (PPRI), yang dipimpin oleh Dr. M. Soedarso, Muzani A. Rani, Soekoco Katim dan lain-lain. Tujuan organisasi PRI adalah untuk menyatukan segenap lapisan masyarakat di daerah Landak/Ngabang dalam usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada bulan Oktober 1946, PRI berubah nama menjadi Gerakan Rakyat Merdeka (GERAM). Meskipun terjadi perubahan nama, tetapi nama-nama pengurusnya tetap. Pengurus besar organisasi ini terdiri dari 15 orang. Gusti M. Said mengetuai bagian propaganda dengan anggota sebanyak 17 orang dan Bardan Nadi diangkat sebagai wakil kepala yang bertanggung jawab untuk seluruh daerah Ngabang.
Pada tanggal 10 Oktober 1946, GERAM melakukan serangan terhadap Belanda dengan sasaran tangsi militer Belanda, rumah kontrolir Ngabang dan pos polisi Belanda (NICA). Dalam melancarkan serangan, GERAM membagi 2 daerah operasinya yaitu daerah Ngabang, Air Besar, Menyuke dan sekitarnya dipimpin oleh Gusti Lagum, sedangkan daerah Sengah Temila dan sekitarnya dipimpin Bardan Nadi. Setelah operasi dilancarkan, Bardan Nadi berhasil merebut dan menduduki kantor Demang desa Sepatah. Selanjutnya Bardan Nadi dan anak buahnya bergabung dengan pasukan GERAM dari Air Besar dan Menyuke.
Pada tanggal 11 Oktober 1946, GERAM melancarkan serangan ke tangsi militer Belanda di Ngabang. Pasukan Belanda kemudian membalas serangan yang membuat pasukan GERAM terdesak. Setelah mendapat bantuan dari Pontianak, pasukan Belanda melakukan pengejaran terhadap pasukan GERAM sampai dengan tanggal 28 Oktober 1946.
Pada tanggal 29 Oktober 1946, terjadi pertempuran di Sidas yang dipimpin oleh Bardan Nadi dan Panglima Adat Pak Kasih. Dalam pertempuran tersebut, Pak Kasih gugur bersama dengan 22 orang pejuang lainnya. Bardan Nadi dan pasukannya yang terdesak kemudian mundur dan bersembunyi di hutan. Pasukan Belanda terus mengejar dan ingin menangkap Bardan Nadi yang dianggap sebagai penggerak pecahnya pertempuran di Sidas.
Pada tanggal 5 November 1946, pasukan Belanda menemukan dan mengepung tempat persembunyian Bardan Nadi dan keluarganya. Bardan Nadi melakukan perlawanan kepada pasukan Belanda sehingga mengakibatkan Paini Trisnowati, anak ketiga Bardan Nadi tewas terkena peluru pasukan Belanda. Setelah salah seorang anaknya tewas, Bardan Nadi akhirnya menyerah. Namun sebelum ditangkap, ia sempat mengeluarkan sehelai kertas dari saku bajunya dan dimasukkan ke mulut dan ditelannya. Hal tersebut dilakukan agar kertas dokumen itu tidak jatuh ke tangan Belanda karena isi kertas dokumen itu sangat rahasia, yang diterimanya dari dokter Soedarso, selaku pimpinan organisasi PPRI di Pontianak. Adapun isi kertas dokumen itu adalah supaya mengadakan pemberontakan terhadap penjajah Belanda, sesuai dengan situasi dan kondisi di daerahnya masing-masing. Setelah ia ditangkap dan sebelum tangannya diikat, ia meminta ijin kepada pasukan Belanda untuk mengubur jenazah putrinya.
Setelah ditangkap, Bardan Nadi kemudian dibawa ke tangsi militer Belanda di Ngabang. Selama berada di dalam tangsi militer Belanda di Ngabang, ia mengalami penyiksaan dan sempat beberapa hari dirawat di poliklinik militer Belanda di Ngabang. Ia kemudian dipindahkan dari tangsi militer Belanda di Ngabang ke penjara Sungai Jawi Pontianak. Di penjara Sungai Jawi Pontianak, ia dimasukkan ke dalam sel yang berdampingan dengan sel yang ditempati oleh dokter Soedarso. Dalam masa penahanannya di penjara Sungai Jawi, ia kembali mengalami penyiksaan. Setelah beberapakali diperiksa, akhirnya Mahkamah Pengadilan Militer Belanda di Pontianak memutuskan menjatuhkan hukuman mati kepada dirinya. Hukuman tersebut dilaksanakan pada tanggal 17 April 1947.
Sebelum ditembak mati, Bardan Nadi meminta kepada Kepala Penjara Sungai Jawi untuk mengeluarkan semua tahanan dari sel masing-masing dan selanjutnya dikumpulkan di halaman penjara untuk bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Ia memimpin sendiri lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan secara bersama-sama itu. Setelah selesai menyanyikan lagu Indonesia Raya, dengan suara lantang dan bersemangat, ia memekikkan “Merdeka, Merdeka, Merdeka”. Pekikkan itu disambut hangat oleh para tahanan yang berkumpul di halaman penjara. Mereka kagum atas tekad dan semangat Bardan Nadi. Selanjutnya pada tanggal 17 April 1947, pukul 07.00 WIB, Bardan Nadi menjalani hukuman mati dihadapan regu tembak pasukan Belanda. Darahnya telah membasahi bumi ibu pertiwi dan ia gugur sebagai pahlawan bangsa sejati. Jenazah Bardan Nadi dimakamkan di kompleks penjara Sungai Jawi Pontianak. Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 14 April 1950, atas prakarsa bekas pejuang kemerdekaan, kerangka jenazah Bardan Nadi dipindahkan ke kota Ngabang. Ia dimakamkan kembali di dekat makam ayah dan ibunya di kompleks pemakaman Islam, Hilir Kantor.
Dari riwayat di atas, generasi muda bangsa dan negara Indonesia hendaknya dapat memetik hikmah dan nilai-nilai perjuangan Bardan Nadi. Dalam suatu perjuangan memerlukan pengorbanan jiwa dan raga termasuk harta benda. Hal ini dapat melihat dari contoh sikap dan perbuatan Bardan Nadi dalam berjuang, dirinya rela kehilangan jabatan dan pekerjaannya, rela kehilangan nyawa anaknya, bahkan rela kehilangan nyawanya sendiri. Generasi muda hendaknya meneruskan perjuangan para pahlawan yang gugur dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia dengan mengisi alam kemerdekaan ini dengan pembangunan.

Pangeran Kuning Dari Sintang

Pangeran Kuning adalah seorang tokoh pejuang yang gigih menentang penjajah Belanda di wilayah kerajaan Sintang Kalimantan Barat. Ia lahir pada tahun 1759 Masehi. Ayahnya bernama Raden Machmud, seorang pembesar di kerajaan Sintang yang menjabat sebagai Mangkubumi dengan gelar Mangku Negara II. Raden Machmud sendiri adalah saudara dari Raja Sintang yang bernama Sultan Adi Abdul Rasyid Muhammad Jalaluddin. Mereka berdua adalah anak dari Sultan Abdurrahman Muhammad Jalaluddin, raja Sintang sebelum Sultan Adi Abdul Rasyid. Sultan Adi Abdul Rasyid kemudian meninggal dunia dan sebagai penggantinya adalah putra sulungnya yang bernama Pangeran Ratu Ahmad Qamaruddin. Dalam menjalankan pemerintahannya, Pangeran Ratu Ahmad Qamaruddin didampingi oleh Mangkubumi Pangeran Ratu Idris Kesuma Negara yang merupakan saudara dari Pangeran Kuning.
Pangeran Kuning merupakan anak pertama dari enam bersaudara. Saudaranya yang lain adalah Pangeran Ratu Idris, Pangeran Rija (Aria), Pangeran Anom, Adi Tjoeit dan Adi Boesoe. Sejak kecil, ia menimba ilmu silat dan agama dari seorang mubaligh bernama Rajo Dangki, seorang penyebar agama Islam di wilayah kerajaan Sintang yang berasal dari Sumatera Barat. Oleh karenanya, ia kemudian menjadi sosok yang berani, ulet, jujur dan mempunyai kepribadian. Pangeran Kuning menikah dan dikaruniai 3 orang anak. Salah seorang anaknya bernama Abang Arip yang mempunyai gelar Pangeran Muda.
Pangeran Muda sebagai anak dari Pangeran Kuning pernah ditugaskan oleh Sultan Ahmad Qamaruddin untuk memimpin daerah Ketungau sebagai penjaga keamanan dan pemungut pajak penduduk guna kepentingan kerajaan Sintang. Pada suatu saat, terjadi sebuah peristiwa perselisihan dan pembunuhan antar warga di daerah Ketungau. Sultan Ahmad Qamaruddin yang mendengar berita peristiwa pembunuhan tersebut menganggap Pangeran Muda tidak dapat melaksanakan tugasnya dalam mengamankan wilayah Ketungau dengan baik sehingga Pangeran Muda dan keluarganya dipindahkan dari Ketungau ke daerah Kayan. Pangeran Kuning menilai bahwa kebijakan Sultan Ahmad Qamaruddin yang telah memindahkan Pangeran Muda beserta keluarganya ke Kayan adalah tindakan sewenang-wenang. Selain itu Pangeran Kuning juga tidak menyetujui kebijakan Sultan Ahmad Qamaruddin yang mau bekerjasama dengan Belanda. Oleh sebab itu, Pangeran Kuning kemudian memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pejabat di kerajaan Sintang.
Walaupun Pangeran Kuning telah mengundurkan diri sebagai pejabat di kerajaan Sintang, namun ia tetap peduli dengan nasib kerajaan Sintang dan rakyatnya. Ia bersama-sama dengan saudaranya, yaitu Pangeran Aria dan Pangeran Anom menyusun kekuatan untuk menghadapi Belanda di wilayah kerajaan Sintang. Tindakan Pangeran Kuning dan saudaranya tersebut membuat hubungan antara Pangeran Kuning dan Sultan Ahmad Qamaruddin menjadi tidak harmonis dan menimbulkan rasa saling curiga di antara mereka. Di satu sisi, Pangeran Kuning menentang kehadiran Belanda, sedangkan di sisi lain Sultan Ahmad Qamaruddin menerima kehadiran Belanda di wilayah kerajaan Sintang.
Kedatangan Belanda di kerajaan Sintang terjadi pada masa pemerintahan Raja Sintang yang ke-22 yaitu masa pemerintahan Sultan Ahmad Qamaruddin. Kedatangan Belanda tersebut mendapat perhatian dari beberapa pejabat dan penguasa kerajaan Sintang termasuk dari Sultan Ahmad Qamaruddin. Kehadiran Belanda secara resmi di wilayah kerajaan Sintang berlaku setelah kerajaan Sintang dan Belanda mengadakan perjanjian/kontrak. Dalam perjanjian yang dibuat, pada mulanya Belanda mau mematuhi segala isi peraturan yang telah disepakati. Akan tetapi, lama-kelamaan Belanda dengan menggunakan akal liciknya mengelabui penguasa dan rakyat kerajaan Sintang. Sampai pada akhirnya, Belanda mampu menggeser kedudukan Raja Sintang yang semula sebagai penguasa berubah kekuasaannya menjadi di bawah kekuasaan Belanda.
Sebagai contoh, pada tahun 1822 Masehi, Belanda melakukan tipu muslihat dengan meminta izin kepada Sultan Ahmad Qamaruddin untuk memberikan perluasan tanah bagi Belanda di Kampung Tanjung Sari. Akan tetapi, pada kenyataannya tanah yang diminta Belanda tersebut sangat luas dan akan dipergunakan untuk mendirikan loji atau benteng pertahanan Belanda. Sikap dan perbuatan Belanda tersebut membuat beberapa Pangeran di kerajaan Sintang menjadi marah, diantaranya adalah Pangeran Kuning, Pangeran Anom dan Pangeran Muda. Pangeran Kuning beserta Pangeran-Pangeran lainnya kemudian mendatangi Sultan Ahmad Qamaruddin untuk menyampaikan pendapat agar Sultan Ahmad Qamaruddin menolak memberikan izin kepada Belanda untuk memperluas tanah guna mendirikan benteng pertahanan. Akibat perbedaan pendapat mengenai pemberian izin perluasan tanah bagi Belanda, maka timbullah perpecahan dan perselisihan di antara keluarga kerajaan Sintang.
Pangeran Kuning merupakan sosok tokoh yang patut diteladani. Dalam pemikiran dan tindakannya, terlihat bahwa ia tidak setuju dengan segala sesuatu yang sifatnya sepihak dan hanya menguntungkan diri sendiri tanpa memperhatikan rasa keadilan di pihak lain. Pangeran Kuning menentang adanya perjanjian kerjasama antara Raja Sintang dan Belanda. Ia menganggap bahwa isi perjanjian tersebut banyak merugikan pihak kerajaan Sintang yang pada gilirannya akan membuat rakyat di kerajaan Sintang menjadi sengsara. Oleh karena sikapnya itu, ia rela menerima dirinya dituduh sebagai pemberontak yang menghalangi setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa kerajaan Sintang dan Belanda. Pangeran Kuning kemudian berjuang bersama-sama dengan pengikutnya di hutan dan sepanjang sungai di daerah Kayan. Perlawanan Pangeran Kuning dan para pengikutnya terhadap Belanda ditunjukkan dengan adanya peristiwa perang Tebidah pada tahun 1856 sampai dengan tahun 1860 Masehi.
Pada tahun 1857, Pangeran Kuning wafat karena sakit dalam usia 98 tahun. Sebagai tanda penghormatan kepada beliau, Pangeran Kuning dimakamkan ditempat terakhirnya ia berada, yaitu di lokasi markas pertahanan Pangeran Kuning dan pengikutnya di daerah Sedaga, Kayan Hulu. Setelah Pangeran Kuning wafat, perlawanan rakyat kerajaan Sintang terhadap Belanda dilakukan di bawah pimpinan Pangeran Muda dan Pangeran Anom. Namun pada tahun 1860 Masehi, Pangeran Muda meninggal dunia dan perjuangan melawan Belanda tetap diteruskan di bawah pimpinan Pangeran lainnya.
Pangeran Kuning merupakan sosok tokoh yang berani dan mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi. Ia bersama pengikutnya berani melakukan perlawanan terhadap Belanda yang telah berlaku sewenang-wenang terhadap kerajaan Sintang dan rakyatnya. Walaupun pada akhirnya Pangeran Kuning meninggal dunia di medan perjuangan, namun jasa-jasa beliau akan terus dikenang sebagai salah satu tokoh pejuang Kalimantan Barat. Generasi muda sebagai generasi penerus bangsa hendaknya dapat mengambil teladan dari sikap kepribadian dan tindakan Pangeran Kuning semasa hidupnya.

J.C. Oevaang Oeray

Johannes Chrisostomus Oevaang Oeray atau yang lebih dikenal dengan J. C. Oevaang Oeray merupakan salah seorang tokoh pejuang di Kalimantan Barat. Ia lahir pada tanggal 18 Agustus tahun 1922 di Tanjung Kuda, desa Melapi I, Kabupaten Kapuas Hulu. Ayah dan ibunya bernama Ledjo dan Hurei yang beragama Khatolik. Kedua orangtuanya berasal dari suku Dayak yang bekerja sebagai penoreh karet dan petani ladang berpindah. Ia merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Saudaranya yang lain adalah Ding Oeray, Mering Oeray dan Tepo Oeray.
Sejak kecil Oevaang Oeray telah menunjukkan semangat yang tinggi bagi diri dan bangsanya untuk terlepas dari kehidupan yang tertinggal. Ia mempunyai sikap tidak mudah berputus asa dan berpandangan luas. Penampilannya sederhana, ramah, ulet, berjiwa sosial dan suka menolong siapa saja yang memerlukan bantuannya. Keinginan untuk maju menjadi tekad utamanya karena ia tidak ingin kehidupannya, baik secara pribadi maupun sukunya tetap tertinggal di mata bangsa penjajah Belanda.
Oevaang Oeray mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) yang ada di desanya. Setelah menyelesaikan sekolah rakyat selama enam tahun, ia melanjutkan ke Sekolah Guru dan Sekolah Seminari Nyarumkop selama 6 tahun. Setelah tamat dari Sekolah Seminari, ia sempat melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Pastor. Tetapi karena terjadi perbedaan pendapat antara dirinya dengan salah seorang Pastor Belanda, maka ia dihukum dan tidak diperbolehkan meneruskan sekolah Pastornya.
Sejak masih bersekolah di Seminari Nyarumkop, Oevaang Oeray sudah mempunyai pemikiran untuk memperbaiki kondisi sosial masyarakat Dayak melalui perjuangan politik. Pada tahun 1941, ia pernah menulis surat kepada para guru sekolah-sekolah Katholik se-Kalimantan Barat yang sedang mengadakan retreat tahunan di Sanggau untuk mengajak mereka peduli kepada kondisi sosial masyarakat Dayak. Pemikirannya tersebut disambut baik oleh peserta retreat yang pada waktu itu dipimpin oleh tokoh-tokoh guru Khatolik seperti A.F. Korak, J. R. Gilling dan M. Th. Djaman. Dari pertemuan tersebut berhasil dicetuskan suatu kebulatan tekad yang menyatakan bahwa seluruh peserta retreat bersepakat memperjuangkan nasib masyarakat Dayak melalui perjuangan politik. Peristiwa tersebut merupakan cikal bakal dari pertumbuhan Partai Persatuan Dayak (PD), yang sebelumnya didahului dengan kelahiran Dayak In Action (DIA) atau Gerakan Kebangkitan Dayak. Organisasi ini dibentuk pada tanggal 30 Oktober 1945 di Putussibau di bawah pimpinan F. C. Palaunsuka, salah seorang guru sekolah rakyat.
Pertumbuhan organisasi Dayak In Action (DIA) yang kemudian menjadi Partai Persatuan Dayak (PD) mengalami perkembangan, dimana pada setiap benua atau desa dibentuk komisariat yang kedudukannya disejajarkan dengan Dewan Pimpinan Cabang (DPC). Akibat perkembangan politik yang meningkat, maka pada akhir Desember 1946, Partai PD mengadakan rapat paripurna yang menghasilkan keputusan untuk memindahkan kedudukan partai dari Putussibau ke Pontianak. Kemudian melalui keputusan musyawarah bersama pada tanggal 1 Januari 1947, Oevaang Oeray diangkat sebagai Ketua Umum Partai PD.
Setelah menyelesaikan sekolahnya, Oevaang Oeray bekerja sebagai guru di kampungnya. Kemudian beliau diangkat menjadi pegawai negeri. Pekerjaan ini terus dilakukannya sampai kedatangan bangsa Jepang di Kalimantan Barat. Ia mempersunting Bernadetha Boea, seorang gadis dari desanya sendiri. Ia dan istrinya beberapa kali berpindah tempat tinggal karena berbagai tugas yang diembannya. Sampai akhir hayatnya, Oevaang Oeray dan istrinya belum dikaruniai anak sehingga mereka mengambil anak angkat yaitu David Dungo Ding, Anna Maria dan Hubertus Tekuwan. Pada tahun 1946, ia mendapat kesempatan mengikuti pendidikan selama satu tahun di MOSVIA (Meddelbare Opleiding School Voor Indische Amtenaar) atau sekolah Pamong Praja di Makassar, Sulawesi Selatan. Setelah selesai mengikuti pendidikan di MOSVIA, ia kembali ke Kalimantan Barat.
Pada tanggal 12 Mei 1947, Komisaris Jenderal Van Mook menandatangani Statuut Kalimantan Barat, dimana Karesidenan Kalimantan Barat berubah menjadi Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), dengan Kepala Daerah Sultan Hamid II dan wakilnya Mansyur Rifai. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Daerah dibantu oleh badan yang disebut Dagelijk Bestuur atau Badan Pemerintah Harian (BPH), yang terdiri dari Oevaang Oeray, A. F. Korak, Lim Bak Meng, Tio Kiang Sun dan H. M. Sauk. Dengan diangkatnya Oevaang Oeray sebagai anggota BPH pada pemerintahan DIKB, maka sejak tanggal 12 Mei 1947, A. Djelani diangkat sebagai Kepala Kantor Urusan Dayak DIKB dan sekaligus sebagai Ketua Umum Partai PD menggantikan Oevaang Oeray.
Upaya Belanda membentuk DIKB mendapat tentangan keras dari berbagai organisasi politik yang ada di Kalimantan Barat. Mereka menilai dengan dibentuknya DIKB merupakan suatu usaha Belanda untuk menjauhkan rakyat Kalimantan Barat dari pemerintah Republik Indonesia. Pihak republiken menganggap bahwa perubahan status Kalimantan Barat menjadi DIKB merupakan suatu perjanjian politik (Politik Kontrak) antara Sultan Hamid II dengan Belanda. Dengan demikian berarti Belanda mengakui DIKB dengan pemerintah sendiri dan mengakui pula Dewan Kalimantan Barat (DKB) sebagai penyelenggara kekuasaan tertinggi. Pada tanggal 23 Maret 1948, di Pontianak diadakan pemilihan anggota DKB untuk seluruh daerah Kalimantan Barat. Dari hasil pemilihan, suara terbanyak diperoleh dokter Soedarso dan Mansyur Rifai. Tetapi, karena dokter Soedarso masih berada di dalam penjara maka kedudukannya digantikan oleh Mansyur Rifai. Kemudian pada tanggal 12 Mei 1948, diumumkan susunan anggota DKB baru yang anggotanya ada yang diangkat oleh pemerintah DIKB dan ada yang dipilih. Anggota DKB yang diangkat adalah Oevaang Oeray, Lim Bak Meng, Muhammad Saleh dan W. N. Nieuwenhuysen. Anggota DKB dari Swapraja yang diangkat oleh pemerintah adalah Tengku Muhammad, Ade Djohan dan Gusti Ismail. Sedangkan anggota DKB hasil pemilihan adalah F. C. Palaunsuka, Mansyur Rifai, Tio Khian Sun dan F. Bradenburg Van der Groden.
Pembentukan DIKB dan DKB mendapat tentangan dari masyarakat dan berbagai organisasi politik seperti Gabungan Politik Indonesia (GAPI), Persatuan Buruh Indonesia (PBI) dan Partai Rakyat Indonesia (PRI). Ketiga organisasi tersebut sangat mencela tindakan Sultan Hamid II yang telah menandatangani status itu. Pada tanggal 26 November 1949, anggota-anggota GAPI yang berhaluan keras mendirikan Komite Nasional Kalimantan Barat (KNKB) untuk menentang adanya DIKB dan DKB. Mereka mempunyai keinginan agar Kalimantan Barat bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bukan sebagai sebuah negara bagian. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, KNKB melakukan aksi pemogokan umum bersama-sama dengan buruh, pegawai pemerintah maupun swasta. Akibat aksi tersebut, ketenangan umum dan aktifitas perekonomian menjadi terganggu. Untuk memulihkan keadaan akibat aksi mogok umum tersebut, Pemerintah DIKB kemudian menangkap ketua KNKB, S. H. Marpaung beserta pengurus lainnya yang dianggap sebagai penggerak aksi pemogokan.
Pada tanggal 12 Maret 1950, Komisaris Republik Indonesia Serikat (RIS) yang diwakili oleh Mr. Indra Kusuma dan M. Soeparto tiba di Pontianak. Kedatangan mereka untuk menangani ketegangan antara KNKB dengan pemerintah DIKB. Komisaris RIS kemudian mengadakan tatap muka dengan pemerintah DIKB dan KNKB. Perundingan berjalan dengan tegang karena pada prinsipnya KNKB tetap mempertahankan tuntutannya yang menginginkan Kalimantan Barat bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perundingan antara pemerintah DIKB – Komisaris RIS - KNKB dilaksanakan kembali pada tanggal 17 Maret 1950. Perundingan yang kedua tersebut menghasilkan keputusan bahwa akan segera dibentuk sebuah Komisi oleh Menteri Dalam Negeri RIS yang akan membuat peraturan pemilihan anggota DKB. Anggota Komisi tersebut beranggotakan 7 orang dengan perincian 3 orang dari DKB, 3 orang dari KNKB dan 1 orang dari RIS yang akan menjadi ketua Komisi.
Berdasarkan hasil keputusan perundingan tanggal 17 Maret 1950 di atas, Menteri Dalam Negeri RIS kemudian membentuk suatu Komisi untuk pemilihan anggota DKB yang anggotanya terdiri dari Mr. R. Suwanjo dari RIS sebagai ketua Komisi, Oevaang Oeray, Ade Muhammad Djohan, Tio Khian Sun dari DKB dan S. H. Marpaung, Uray Bawadi dan Djenawi Tahir dari KNKB. Pada akhirnya Komisi tersebut tidak berhasil menetapkan waktu pelaksanaan pemilihan anggota DKB yang baru karena antara KNKB dan DKB yang lama terjadi perbedaan pendapat mengenai waktu pemilihan, dimana KNKB menghendaki agar pemilihan anggota DKB yang baru dilaksanakan secepatnya sementara DKB yang lama meminta waktu selama tiga bulan untuk melaksanakan pemilihan DKB yang baru tersebut.
Di tengah-tengah kesibukan dan ketegangan perundingan antara KNKB dan DKB, kemudian terdengar berita mengenai penangkapan Sultan Hamid II sebagai Menteri Negara RIS, yang dianggap terlibat dalam peristiwa Westerling pada tanggal 23 Januari 1950 di Bandung dan menyerbu sidang Dewan Menteri pada tanggal 24 Januari 1950. Sultan Hamid II ditangkap pada tanggal 5 April 1950. Dengan tertangkapnya Sultan Hamid II maka DIKB dan kerajaan-kerajaan Swapraja yang ada di Kalimantan Barat dinyatakan bubar. Setelah DIKB dianggap bubar maka terhitung sejak tanggal 17 Agustus 1950, Kalimantan Barat menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan bergabungnya Kalimantan Barat menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia maka secara otomatis daerah Kalimantan Barat mengikuti peraturan dan kebijakan dari pemerintah pusat Republik Indonesia. Dalam bidang politik, pemerintah pusat menyelenggarakan Pemilihan Umum yang pertama pada tahun 1955 untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga legislatif. Demikian juga di Kalimantan Barat diselenggarakan Pemilihan Umum pada tahun 1955. Melalui suara Partai PD dalam Pemilu tahun 1955, Oevaang Oeray berhasil diangkat menjadi Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Barat dengan dasar Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 59/M tanggal 17 Maret 1959. kemudian pada tanggal 22 Juni 1959, bertempat di Gedung Pertemuan Umum Kotapraja Pontianak, ia dilantik menjadi Kepala Daerah oleh Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri, R. M. Soeparto. Setelah selesai upacara pelantikan, diadakan serah terima jabatan Kepala Daerah dari Gubernur Jenderal Asikin Joedadibrata kepada Kepala Daerah yang baru Oevaang Oeray.
Setelah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, DPRD Tingkat I Kalimantan Barat melalui sidang tanggal 14 November 1959, menetapkan nama calon Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Barat. Calon yang terpilih terdiri dari 2 orang, yaitu Oevaang Oeray (PD) dan R. P. N. L. Tobing (PNI). Dari dua calon tersebut ternyata sesuai dengan Surat Keputusan Presiden RI No. 464/M tanggal 24 Desember 1959, ditetapkan. Oevaang Oeray sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Barat terhitung sejak tanggal 1 Januari 1960 s/d 1966.
Perlu diketahui bahwa pada waktu itu kedudukan Gubernur dan Kepala Daerah adalah terpisah. Gubernur adalah sebagai wakil pemerintah pusat di daerah sedangkan Kepala Daerah adalah aparat desentralisasi sebagai kepala daerah otonom. Dengan demikian Oevaang Oeray adalah Kepala Daerah Otonom Tingkat I Kalimantan Barat yang pertama dan terakhir, karena setelah itu jabatan Gubernur dan jabatan Kepala Daerah disatukan menjadi Gubernur Kepala Daerah yang mempunyai tugas rangkap yaitu sebagai kepala daerah otonom dan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
Selama memangku jabatannya, Oevaang Oeray berusaha memajukan daerah Kalimantan Barat. Dalam bidang pendidikan, beliau bersama-sama dengan tokoh politik, tokoh masyarakat dan pemuka agama seperti dokter Soedarso, R. Wariban, Ibrahim Saleh, dan lain-lain mendirikan Universitas Daya Nasional yang sekarang bernama Universitas Tanjung Pura di Pontianak. Dalam pembangunan sarana peribadatan, selain pembangunan gereja, ia juga memperhatikan pembangunan rumah ibadah umat Islam.
Setelah tidak lagi menjabat sebagai Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Barat, Oevaang Oeray dipercaya duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 1977-1982 mewakili Golongan Karya. Dan sampai akhir hayatnya, beliau masih menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan DPD Golkar Kalimantan Barat.
Oevaang Oeray meninggal dunia pada tanggal 17 Juli 1986 di Pontianak karena sakit. Sehari sebelum Oevang Oeray meninggal dunia atau tepatnya pada hari Kamis, tanggal 17 Juli 1986, di ruang rapat Kantor Gubernur Kalimantan Barat diadakan pertemuan antara Gubernur Kalimantan Barat dengan Pengurus Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) dan Masyarakat Perkayuan Indonesia (MPI). Dalam pertemuan tersebut, sebagai Ketua Eksekutif Apkindo, Oevaang Oeray berkesempatan melaporkan hasil perjalanannya di Jawa Timur, Bali dan Sumatera. Tetapi, sewaktu berbicara dalam pertemuan itu, ia menderita batuk-batuk dan sulit bernafas. Ia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Umum Sei Jawi Pontianak. Setelah segala upaya dan usaha dilakukan untuk penyembuhan, pada tanggal 17 Juli 1986 di RSU Sei Jawi Pontianak, ia akhirnya meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Katholik Santo Yosef di Sungai Raya Pontianak.
Dengan meninggalnya Oevaang Oeray, maka masyarakat Kalimantan Barat khususnya dan bangsa Indonesia umumnya telah kehilangan salah seorang putra terbaik bangsa yang turut berjuang memajukan harkat dan martabat rakyat melalui pendidikan dan pembangunan. Generasi muda dapat mengambil nilai-nilai perjuangan dan pengabdian Oevaang Oeray seperti sikapnya dalam usaha untuk maju dan berprestasi dalam menuntut ilmu sehingga dengan ilmu tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat bangsa dan negara Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat.

Ali Anyang

Ali Anyang merupakan salah seorang tokoh pejuang Kalimantan Barat. Ia dilahirkan pada tanggal 20 Oktober 1920 di desa Nanga Menantak, Ambalau daerah Sintang Kalimantan Barat. Ayahnya bernama Lakak dan ibunya bernama Liang, keduanya keturunan suku Dayak di daerah Sintang. Dalam keluarganya, Ali Anyang merupakan anak yang kelima dari tujuh orang bersaudara.
Pada saat berumur 8 tahun, Ali Anyang menjadi anak angkat Raden Mas Suadi Djoyomiharjo, seorang kepala sekolah di daerah Sintang. Ayah angkatnya kemudian mengganti nama asli Ali Anyang yaitu Anjang menjadi Muhammad Ali Anyang. Ia memperoleh pengajaran agama Islam dari orangtua angkatnya. Dalam pendidikannya, ia pernah bersekolah di Holland Inlandsche School (HIS) di Pontianak. Setelah tamat dari HIS, ia melanjutkan sekolah ke Sekolah Juru Rawat Centrale Burgerlijke Ziekem Inrichting (CBZ) atau Rumah Sakit Umum Pemerintah di Semarang. Setelah tamat dari Sekolah Juru Rawat, ia kembali ke Pontianak dan bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Umum Sei Jawi Pontianak.
Sebagai seorang pemuda yang memiliki jiwa nasionalis tinggi, Ali Anyang tergerak hatinya untuk mengabdi dan berjuang dalam usaha membela kemerdekaan tanah airnya. Setelah mendengar berita Proklamasi kemerdekaan Indonesia, beberapa tokoh pemuda di Pontianak termasuk dirinya segera membentuk suatu badan bernama Panitia Penyongsong Republik Indonesia (PPRI). Tujuan pembentukan PPRI tersebut adalah untuk menyebarluaskan berita Proklamasi kemerdekaan Indonesia ke seluruh daerah di Kalimantan Barat.
Sebagai anggota PPRI, ia berperan dalam mencegah perebutan kekuasaan di Pontianak yang akan dilakukan oleh orang-orang Cina yang tergabung dalam organisasi Penjaga Keamanan Umum (PKO). Seperti diketahui, sejalan dengan diterimanya berita Proklamasi kemerdekaan Indonesia, di Pontianak pada tanggal 27 Agustus 1945 terjadi kekosongan pemerintahan. Orang-orang Cina yang tergabung dalam PKO bermaksud menguasai sistem pemerintahan di Kalimantan Barat khususnya di Pontianak. Namun rencana PKO yang meresahkan masyarakat tersebut dapat dicegah oleh PPRI dengan melakukan penyergapan dan perlawanan terhadap anggota PKO. Pada tanggal 3–4 September 1945 terjadi pertempuran antara PPRI yang didukung oleh masyarakat pribumi menghadapi anggota PKO di sekitar kota Pontianak. Bentrokan tersebut mengakibatkan korban jiwa di kedua belah pihak. Mengetahui banyaknya korban jiwa yang berjatuhan, dokter Soedarso sebagai ketua PPRI menginstruksikan Ali Anyang dan kawan-kawannya untuk segera menghentikan pertempuran. Setelah pertempuran berhenti, anggota PKO melarikan diri ke luar kota Pontianak karena segan menghadapi perlawanan dari PPRI dan masyarakat yang akan menghalangi maksud dan tujuan gerakan mereka.
Pada tanggal 29 September 1945, belum lama setelah tentara Jepang pergi, kota Pontianak kedatangan tentara Australia dan Belanda (NICA) untuk mengambil alih kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh penjajah Jepang. Kedatangan tentara Australia di Pontianak hanya berlangsung beberapa lama saja dan setelah itu kekuasaan atas Kalimantan Barat diserahkan kepada Belanda pada pertengahan bulan Oktober 1945. Sejak saat itu Belanda mulai berkuasa di Kalimantan Barat dengan Residennya bernama Van Der Zwaal.
Kedatangan Belanda yang bermaksud menjajah kembali Kalimantan Barat mendapat tentangan dari masyarakat di Kalimantan Barat. Ali Anyang beserta pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan lainnya berusaha menghalang-halangi maksud Belanda tersebut. Pada tanggal 12 November 1945, perlawanan terhadap Belanda dilakukan oleh Ali Anyang bersama pemuda pejuang lainnya dengan menyerbu tangsi dan gudang amunisi Belanda di Pontianak. Penyerbuan tersebut mengakibatkan beberapa orang pejuang mengalami luka berat dan ada yang gugur di tempat. Ali Anyang sendiri kemudian ditangkap dan ditahankan di penjara Sei Jawi Pontianak.
Pada pertengahan bulan Februari 1946, Ali Anyang keluar dari penjara Sei Jawi. Setelah keluar dari penjara, dokter Soedarso sebagai ketua Panitia Penyongsong Republik Indonesia (PPRI) memerintahkan Ali Anyang untuk melakukan konsolidasi dan koordinasi kepada seluruh pemuda pejuang agar terus melakukan perlawanan terhadap Belanda di daerah-daerah karena di kota Pontianak pada saat itu sudah sulit untuk melakukan pergerakan. Setelah menerima perintah dokter Soedarso, Ali Anyang pergi menuju ke wilayah Pantai Utara Kalimantan Barat, antara lain ke Mempawah, Singkawang dan Sambas. Setelah tiba di Singkawang, ia ditetapkan menjadi Komandan Pemberontakan di Kalimantan Barat oleh organisasi Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) yang ada di Singkawang. Selanjutnya ia menyusun dan mengkoordinir seluruh kekuatan yang ada dan mengumpulkannya di Bengkayang.

Pada tanggal 1 April 1946, terbentuk sebuah organisasi yang bernama Barisan Pemberontak Indonesia Kalimantan Barat (BPIKB) yang bermarkas di Bengkayang dengan Ali Anyang sebagai komandannya. Pada tanggal 31 Agustus 1945, Ali Anyang dan pasukan BPIKB berencana melakukan penyerbuan terhadap pasukan Belanda di Bengkayang yang sedang melakukan parade kemiliteran dalam rangka peringatan hari besar Ratu Wilhelmina. Namun penyerbuan itu gagal dilakukan karena pasukan Belanda melakukan penjagaan dengan ketat.
Pada tanggal 8 Oktober 1946, Ali Anyang dan pasukannya menyerbu tangsi militer Belanda di Bengkayang. Para pejuang berhasil menguasai kota Bengkayang dan menaikkan bendera merah putih dengan diiringi lagu Indonesia Raya. Namun penguasaan kota Bengkayang tidak berlangsung lama karena pasukan Belanda yang berasal dari Singkawang datang ke Bengkayang dan menggempur pasukan Ali Anyang. Pada tanggal 9 Oktober 1946, pasukan Belanda dapat merebut kembali kota Bengkayang dari tangan pejuang RI. Pasukan Belanda kemudian mencari Ali Anyang yang dianggap sebagai penggerak penyerbuan kota Bengkayang. Dalam usaha mencari Ali Anyang, Belanda memberi hadiah uang sebanyak 25.000 gulden bagi siapa saja yang berhasil menemukan Ali Anyang.
Walaupun Ali Anyang dan pejuang lainnya dikejar-kejar oleh Belanda, namun mereka masih melakukan perlawanan terhadap Belanda. Hal ini dibuktikan dengan adanya peristiwa penyerbuan tangsi Militer Belanda di Sambas pada tanggal 10 Januari 1949 oleh Ali Anyang dan pasukannya. Karena terdesak maka Ali Anyang dan pasukannya mundur ke hutan-hutan. Pasukan Belanda terus mengejar pasukan Ali Anyang hingga terjadi beberapa kali bentrokan senjata antara kedua belah pihak, diantaranya bentrokan senjata pada tanggal 18 Januari 1949 di kampung Acan perbatasan Serawak dan tanggal 20 Maret 1949 bentrokan terjadi di kampung Camar Bulan.
Akhirnya pertempuran-pertempuran antara Ali Anyang dan pasukannya melawan Belanda berhenti setelah pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia. Hal ini disambut rakyat Kalimantan Barat dengan penuh rasa suka cita dan disertai pekikan ”merdeka, merdeka, dan merdeka”. Setelah pengakuan kedaulatan ini, ia memerintahkan kepada seluruh anggota pasukannya untuk kembali ke kampung halaman masing-masing.
Setelah masa perang kemerdekaan selesai, pada tahun 1950 Ali Anyang menikah dengan Siti Hajar yang berasal dari Sambas. Setelah menikah, Ali Anyang dan istrinya sering berpindah-pindah tempat tinggal karena tugasnya sebagai seorang perawat. Di antaranya ia pernah tinggal di Ciawi, Indramayu, Banjarmasin, Cililitan dan akhirnya kembali ke Kalimantan Barat. Dari pernikahannya dengan Siti Hajir, ia dikaruniai delapan orang anak. Kedelapan orang anaknya itu adalah Sri Endang Ratna Juwita, Ida Triwati, Mohammad Armin Ali Anyang, Rina Yulia, Rita Nuriati, Rini Nuraini, Siti Wahyuni dan Diah Purnama Wati.
Ali Anyang pernah menjadi ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) II Kabupaten Sambas di Singkawang. Namun, sewaktu ia masih menjabat sebagai ketua DPRD II Kabupaten Sambas, pada tanggal 7 April 1970 Ali Anyang meninggal dunia karena sakit. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bambu Runcing, Singkawang Kabupaten Sambas.
Sikap dan perjuangan Ali Anyang sungguh mulia. Jasa dan pengabdiannya kepada bangsa dan negara begitu besar. Dalam perjalanan hidupnya, ia rela berjuang dan berkorban bersama teman-temannya melawan Belanda. Generasi muda sebagai generasi penerus bangsa selayaknya meneladani sosok pejuang Ali Anyang dan nilai-nilai kejuangannya.

Kamis, 08 Oktober 2009

Syarif Hasan bin Zein Al Idrus

Penelitian mengenai peranan Syarif Hasan bin Zein Al Idrus dalam Swapraja Kubu antara tahun 1946 – 1953 merupakan pekerjaan penting, karena hasil penelitian tersebut dapat mengungkap peranan Syarif Hasan bin Zein Al Idrus. Dalam mengungkap peranan tersebut menggunakan data-data sumber sejarah terutama sumber sejarah berupa tulisan seperti dokumen-dokumen yang kemudian diolah menjadi fakta-fakta sejarah. Dokumen utama yang ditemukan dalam penelitian ini adalah dokumen daftar riwayat pekerjaan Syarif Hasan bin Zein Al Idrus. Dari dokumen tersebut dapat diketahui bahwa Syarif Hasan bin Zein Al Idrus pernah menjabat sebagai Ketua Bestuurs Commissie (Dewan Kerajaan) Kubu yang dibentuk Belanda melalui Residen Pontianak dari tahun 1946. Selanjutnya, Syarif Hasan bin Zein Al Idrus juga pernah menjadi Anggota Dewan DIKB (Daerah Istimewa Kalimantan Barat) mewakili Bestuurs Commissie Kubu dari tanggal 24 Oktober 1946.
Dokumen tersebut juga memuat tentang pengangkatan Syarif Hasan bin Zein Al Idrus sebagai Wakil Kepala Swapraja Kubu dari tanggal 16 Agustus 1949 berdasarkan Surat Pengangkatan Besluit No. 215 tanggal 16 Agustus 1949 yang dikeluarkan oleh Residen Kepala Daerah Kalimantan Barat. Jabatan Syarif Hasan bin Zein Al Idrus sebagai Wakil Kepala Swapraja Kubu ini baru berakhir pada tahun 1953 setelah keluarnya Surat Pemberhentian Syarif Hasan bin Zein Al Idrus sebagai Wakil Kepala Swapraja Kubu pada tanggal 2 Mei 1953 berdasarkan SK Gubernur/Residen Kepala Daerah Kalimantan Barat Nomor A.2223/2/1 tanggal 14 September 1953.
Pada tahun 1953, Swapraja Kubu menjadi bagian dari Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 27/1959, tentang Penetapan Undang-Undang Darurat No. 3 Tahun 1953 Tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Tahun 1953 No. 9) yang berisi antara lain bahwa daerah Swapraja Kubu bersama dengan Swapraja Mempawah dan Swapraja Landak digabungkan menjadi sebuah kabupaten yaitu Kabupaten Pontianak.
Selain sumber dokumen di atas, dalam buku yang dikarang A. H. Nasution yang berjudul Peristiwa Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Jilid 7, pada halaman 269 tercatum nama Syarif Hasan sebagai perwakilan Zelfbestuurders Kubu dalam perombakan susunan anggota Dewan Pemerintahan DIKB pada tangal 12 Mei 1948.
Dengan ditemukannya sumber-sumber sejarah seperti di atas, maka Syarif Hasan bin Zein Al Idrus adalah pemegang kekuasaan pemerintahan di Kubu pada tahun 1946 sampai dengan tahun 1953.

Rabu, 07 Oktober 2009

Pahlawan Nasional Kalimantan Barat

RADEN TUMENGGUNG ABDUL KADIR SETIA PAHLAWAN

Abdul Kadir Raden Tumenggung Setia Pahlawan lahir di Sintang, Kalimantan Barat pada tahun 1771 Masehi. Ayahnya bernama Oerip dan ibunya bernama Siti Safriyah. Ayah Abdul Kadir bekerja sebagai hulubalang atau pemimpin pasukan kerajaan Sintang. Abdul Kadir sudah mengabdi sebagai pegawai kerajaan Sintang pada saat usianya masih sangat muda. Selama mengabdi di kerajaan Sintang, ia mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Ia pernah mendapat tugas dari Raja Sintang untuk mengamankan kerajaan Sintang dari gangguan pengacau dan perampok. Tugas tersebut dapat dilaksanakannya dengan baik. Abdul Kadir kemudian diangkat menjadi pembantu ayahnya yang menjabat sebagai Kepala Pemerintahan kawasan Melawi. Setelah ayahnya wafat, pada tahun 1845, ia diangkat sebagai kepala pemerintahan Melawi menggantikan kedudukan ayahnya. Karena jabatannya itu Abdul Kadir mendapatkan gelar Raden Tumenggung yang diberikan oleh Raja Sintang.
Dalam perjuangannya, ia berhasil mempersatukan suku-suku Dayak dengan Melayu serta dapat mengembangkan potensi ekonomi daerah Melawi. Namun demikian, ia juga berjuang keras menghadapi ambisi Belanda-datang di Sintang pada tahun 1820-yang ingin memperluas wilayah kekuasaannya ke daerah Melawi. Dalam menghadapi Belanda, ia memakai strategi peran ganda, yaitu sebagai pejabat pemerintah Melawi ia tetap bersikap setia pada Raja Sintang yang berarti setia pula pada pemerintahan Belanda. Tetapi secara diam-diam ia juga menghimpun kekuatan rakyat untuk melawan Belanda. Ia membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata di daerah Melawi dan sekitarnya untuk menghadapi pasukan Belanda.
Pada tahun 1866, Belanda memberikan hadiah uang dan gelar Setia Pahlawan kepada Abdul Kadir Raden Tumenggung agar sikapnya melunak dan mau bekerjasama dengan Belanda. Namun demikian Abdul Kadir tidak merubah sikap dan pendiriannya. Ia tetap melakukan persiapan untuk melawan pemerintahan Belanda. Pada akhirnya di daerah Melawi sering terjadi gangguan keamanan terhadap Belanda yang dilakukan oleh pengikut Abdul Kadir Raden Tumenggung.
Pada tahun 1868, Belanda yang marah akibat sering mendapat gangguan keamanan kemudian melancarkan operasi militer ke daerah Melawi. Pertempuranpun tidak bisa dihindari antara pasukan Belanda melawan pengikut Abdul Kadir Raden Tumenggung. Dalam menghadapi Belanda, Abdul Kadir tidak memimpin pertempuran secara langsung, melainkan ia hanya mengatur strategi perlawanan. Sebagai kepala pemerintahan Melawi, ia bisa memperoleh berbagai informasi tentang rencana-rencana operasi militer pemerintah Belanda. Berkat informasi itulah, para pemimpin perlawanan dapat mengacaukan operasi militer Belanda.
Selama tujuh tahun (1868-1875) Abdul Kadir Raden Tumenggung berhasil menerapkan strategi peran ganda, namun akhirnya pemerintah Belanda mengetahuinya. Pada tahun 1875 ia ditangkap dan dipenjarakan di benteng Saka Dua milik Belanda di Nanga Pinoh. Tiga minggu kemudian ia meninggal dunia dalam usia 104 tahun. Jenasahnya dimakamkan di Natali Mangguk Liang daerah Melawi.
Abdul Kadir Raden Tumenggung Setia Pahlawan adalah seorang tokoh pemberani. Tokoh pejuang yang mampu menghimpun serta menggerakkan rakyat untuk melawan Belanda. Pemikirannya untuk melawan penjajah Belanda menjadi contoh bagi perlawanan rakyat selanjutnya. Atas jasa-jasanya dalam perjuangan menghadapi penjajah Belanda, maka pada tahun 1999 berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114/TK/Tahun 1999 tertanggal 13 Oktober 1999, pemerintah Indonesia menganugerahkan Abdul Kadir Raden Tumenggung Setia Pahlawan sebagai Pahlawan Nasional.

Sumber :

Simanullang, Binsar., 2006, Seri Pengenalan Budaya Nusantara : Bumi Khatulistiwa, Jakarta : PT. Mediacita.
Damayanti, Desi., 2007, Mengenal Pahlawan Bangsa : Sejarah Perjuangan & Kisah-kisah Kehidupan Mereka, Jakarta: Pustaka Phoenix.